Teman Pagi

Selamat pagi. Sebenarnya salam boleh apa saja, tapi pertemuan itu selalu diawali oleh pagi hari bukan? Jadi, selamat pagi.
Ini pertama kalinya aku bercerita tentangmu, cepat sekali ya? Eh tidak juga sih, kita pernah ada dalam satu sampul makalah dan kita juga pernah saling diam menahan marah. Kamu lucu sekali saat itu, ya walaupun aku lebih lucu karena bertindak bodoh. Maafkkan ya. Ah sudahlah, kemarin memang selalu menyenangkan.
Aku rasa kita sudah lama saling tahu tapi baru kemarin (kemarin sekali) kita saling mengenal. Aku lupa karena apa, sungguh. Seingatku setiap pagi kamu ada disana. Ditempat yang kosong. Mengisi ruang yang berbeda yang bisa jadi sengaja aku kosongkan. Ingat ya kamu ada di ruang berbeda, dan tidak menggantikan.
Aku harus mulai dari mana tentangmu? Jangan marah ya dan jangan segan lagi padaku. Boleh aku mulai? Tapi semua ini sebenarnya kamu kan yang mulai, iya kamu, aku hanya ikut-ikutan saja. Kamu memulainya dengan baik, mengesankan. Seperti biasa saja agar tidak mengunggah perbincangan. Dibiarkan begitu saja sampai akhirnya aku pun menuliskan dengan sederhana saja.
Pagi biasanya biasa saja, tapi pagi itu aku ke tempatmu. Aku kaget, apalagi saat melihat kamu juga terkejut. Ada orang berbeda dari orang yang aku kenal biasanya. Aku senyum seperti biasa, heboh seperti biasa juga. Tapi kamu menjadi lebih tenang dan hati-hati sekali. Mungkin hanya perasaanku, tapi kamu seperti tidak ingin membuat kecewa dan terus mencari padahal aku sudah bilang tidak. Itu lebih dari pelayanan biasanya. Bahkan kamu melihat kekhawatiranku lalu membuat pagiku kembali hangat. "Jangan terlalu halus, nanti dia kasar padamu." Aku hanya diam, apalagi? Ya walau setelah itu aku tertawa sedikit. Pagi sudah saja dibiarkan menjadi siang tanpa bertanya lagi. Aku dengan pagiku dan kamu dengan pagi sibukmu. Sebenarnya aku juga sibuk, tapi mengenalmu juga tidak merepotkan. Setidaknya aku sempat mengucap terima kasih dan selamat bekerja. Tadinya aku ingin berkata sampai ketemu besok, tapi malu. Kamu berbeda disana, makanya aku malu. Tapi tidak apa, aku pulang dulu ya.
Esoknya, di pagi hari juga, tapi pagi yang berbeda, yang masih biasa saja. Entah sengaja atau tidak, kamu menceritakan pagi kemarin. Pagi saat aku disana dan bertemu denganmu, aku tidak berniat menemuimu ya saat itu. Kebetulan saja, walaupun itu sudah pasti adanya. "gara-gara kamu, selera makanku hilang. Kamu pikir siapa yang mau makan mie instan yang sudah sebesar tali itu?" salah satu temanmu mengejekku. Aku kaget. Kamu juga, kelihatannya. Temanmu itu meracau cukup lantang saat semua hening. Yang lain mana mengerti, tapi aku tahu, jadi aku tertawa saat yang lain bengong, kamu juga. Aku ingat, saat itu kamu datang untuk makan, bukan untukku. Karena saat itu kamu membawa dua piring mie instan dengan telur diatasnya kan? Sambil berjalan menunduk. Bahkan sampai aku bertanya, kamu masih menunduk sopan. Aku tahu itu tidak pura-pura, karena kamu kaget saat menatapku. Hahaha kemarin memang selalu menyenangkan.
Masih di pagi itu, seolah tak mau kalah dengan temanmu, kamu juga bertanya tentang hari kemarin. Seperti biasa saja, aku juga menganggapnya biasa, karena itu memang bukan perhatian lebih. Karena aku mulai mengenalmu. Seperti biasa juga, siang merengut pagimu dan pagiku yang hanya berpapasan. Kalau sudah siang, ya kamu pergi, aku juga.
Setelah pagi itu, hanya datang pagi-pagi biasa seperti sebelumnya. Intensitas tidak selalu berselisih sama panjang. Kamu juga. Aku tidak sedih, tidak juga mencarinya. Karena bagaimanapun paginya, kamu tetap ada disana.
Pagi yang menarik lagi saat kamu menghampiriku ketika aku mengoceh tak karuan. Pagi itu benar-benar menyebalkan. Tidak usah aku ceritakan ya, itu kan menyebalkan, tidak penting juga. Aku ceritakan bagian kamunya saja hehe. Kalau boleh aku tebak, kamu juga bosan dengan pagi itu. Kamu sama sekali tidak mengurusi barang bawaanmu dan malah ikut turun bersamaku mengambil bawaan lain. Aku tahu kamu tidak bermaksud menemani. Kamu hanya menghindar tapi malah terjebak bersamaan dengan aku. Lalu balik mengoceh menimpaliku "Teman yang membuatmu tertawa itu sedikit sekali, kasihan. Cepat tertawa." Nadamu mengancam. Aku bengong lalu memberanikan diri untuk menoleh. Kamu tertawa. Aku tidak. Aku terkejut. Tapi kemudian tertawa sih. Lagi-lagi sedikit aku mengenalmu. Lagi-lagi siang datang tanpa permisi, menggulirkan pagi seperti biasanya.
Biar aku ceritakan dulu tentang sore kemarin dimana aku tidak bisa tidur dengan nyenyak, mataku lebam karenanya. Alhasil paginya aku malas langsung duduk manis seperti biasanya. Aku memilih menikmati matahari yang memelukku hangat, setidaknya aku tidak lagi kedinginan seperti kemarin sore. Kamu, seperti biasa tidak langsung duduk. Kamu memang terbiasa mampir-mampir bukan? Bahkan masuk tepat satu menit sebelum ada yang datang mengajar. Dari jauh samar-samar ada yang bicara, seolah memanggilku. Aku menoleh, lalu apa yang kudapati? Kamu. "Awas meleleh." Kamu tak tahu saja kalau aku sudah meleleh. Tapi benar juga matahari sudah semakin menyengat dan waktuku harus menjadi nyata. Aku berjalan menunduk saja, malas sekali kalau sampai harus bertegur sapa dengan yang lain. Melewatimu juga biasa saja. Sampai akhirnya malah kamu yang menghentikanku. Aku tidak berani mengangkat kepala, tapi kamu menghalangi. Aku malas berbincang, sangat malas. Akhirnya berhubung belum ada yang datang, aku memilih berhenti dan menegurmu, satu-satunya orang yang mungkin menyenangkan pagi itu. Karena kamu selalu menyenangkan di pagi hari, iya kan?
Iseng sekali kamu bertanya tentang dia, padahal aku rasa kamu tidak tahu apa-apa. Basa-basi saja. Tapi kamu berhasil membaca, hanya saja salah ejaan. Mana mungkin aku murung hanya karena itu, aku tentu bukan jenis yang kau kira. Kamu mungkin tahu, aku tidak bisa berbohong juga tidak bisa berhenti bercerita, seperti biasa. Kamu terheran, aku tahu kamu terkejut saat aku kembali menunduk perlahan. Bukannya gr atau bagaimana, hanya saja aku merasakan kamu menatapku lebih tepatnya memperhatikan tanganku yang tidak bisa berhenti gemetar. Gemetar seperti biasanya saat aku marah tak tertahan. Apalagi yang bisa aku lakukan? Aku bercerita dan kamu menimpali seadanya. Tidak ada harapan pasti tentang jawabanmu, didengarkan saja aku sudah beruntung. "Itu hanya soal beras, dasar ampelas 400, gabisa dikit aja kena paku." kamu menertawai, aku tahu kamu mencoba menghibur, jujur saja kamu berhasil tapi aku malu mengakuinya. Sepertinya kamu tidak membiarkan pagi berlalu begitu saja. Pagi itu kamu tahan sebentar, sampai aku sendiri yang menertawakannya. Sampai kamu bisa berbincang seperti biasa lagi denganku. Kemarin dan pagi selalu menyenangkan.
Sampai pagi ini, kamu masih ada di ruang itu. Akan selalu ada sih, tapi ruang itu luas dan kamu bebas berpindah kemana pun kamu mau. Hanya saja, pagi ini kamu kalah. Berapa kali matamu tertangkap. Sebenarnya tidak begitu juga kronologinya, karena kamu berada di barisan belakang jadi mungkin saja hanya kebetulan berpapasan. Tapi ah, sudah biarkan saja sebagai kemungkinan. Jangan dibuat pasti. Pagi ini juga kita membuat janji dua hari kedepan. Meski sejujurnya aku takut. Aku tahu kamu bukan orang jahat, lagipula bukan itu yang aku takutkan. Hanya takut saja seperti biasa.
Selamat. Kamu datang pada hati yang patah. Tentu saja kamu tidak memperbaikinya, tapi cukup menjaganya agar tidak lebih berserak lagi. Sepertinya kamu sengaja membiarkan waktu yang akan menyusun sekeping hati yang baru. Pandai sekali.
Kamuku, kamunya, kamu mereka, kamu akan tetap kamu tanpa kepemilikan. Janganlah berganti, tapi jangan juga tetap sepeti ini. Mau-ku memang aneh. Tapi lebih aneh melihatmu tersenyum malu-malu. Jangan pandang aku seperti itu lagi ya. Jangan penjarakan aku. Kamu bebas, begitupun aku.

Komentar

Postingan Populer