Dua Film dari Mataku

 Gimana kalau kita bikin segmen review film (dan tentu curhat) disini?”

– Aku, abis nonton.

 

Say Anything (1989), film lama yang tidak sengaja kutonton karena nebeng temen streaming di discord. Singkatnya, ini cerita tentang romansa siswa tingkat akhir (yang ternyata bukan itu kurasa yang mau dibagikan). Disini ada Diane – bintang Angkatan, cantik, juara kelas, popular tapi sedikit berteman, dan Lloyd – siswa biasa tapi berhasil memenangkan hati Diane. Untuk konsumsi di masa sekarang, sudah cukup banyak film dengan alur cerita serupa dan itu kenapa aku tidak akan membahasnya disini. Satu hal yang membuatku tertarik sampai menuliskan disini adalah tentang, kebohongan. (ini akan menjadi spoiler, jangan diteruskan kalau kamu berniat menontonnya).

Orang tua Diane bercerai saat ia berusia 13 (cmiiw) dan ia memilih untuk tinggal bersama ayahnya. Dari pandanganku, itu menjadi kebahagiaan sekaligus tekanan sendiri bagi Ayahnya. Meski di film ini tidak diceritakan bagaimana struggle sang ayah merawat dan membesarkan Diane, tapi sikap ayahnya terhadap Diane cukup menjelaskan. Ayah Diane tidak setuju dengan hubungan Diane dan Llyod. Yah, kurasa itu wajar dan menjadi ketakutan setiap ayah pada umumnya. Hal lain yang cukup mengkhawatirkan adalah saat ayah Diane hanya meminta Diane fokus kepada masa depannya, lebih khusus tentang studi dan karirnya. Bukan hal buruk, kita tahu semua orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. Namun… ada satu hal yang membuat Diane (dan Aku) sangat marah.

Selama ini Diane hidup dengan tenang dan nyaman, semua baik-baik saja sampai suatu ketika penagih pajak datang ke rumahnya. Dari kejadian itu, ketimbang tersulut amarah kenapa Ayahnya tidak menyetujui hubungan Diane dengan Llyod, aku lebih penasaran apa yang telah dilakukan Ayahnya. Singkat cerita Diane mencari tahu dan berhasil menemukan uang yang disembunyikan Ayahnya. Diane (dan aku) kecewa, sudah pasti. Seorang yang dulu ia pilih, ia percayai dengan sepenuh hati, ternyata menyimpan suatu kebohongan. Sekalipun kebohongan itu untuk kebaikan Diane (ayahnya berkata uang itu ia simpan untuk kelanjutan sekolah Diane), tapi bukan berarti ia bisa seenaknya berbohong. Untukku, hal paling buruk bukanlah saat situasi kita tidak baik-baik saja. Melainkan, saat kita terpuruk namun kita menutupinya dengan kebohongan berdalih untuk menyelamatkan. Kurasa, Diane (dan aku) akan mengerti seberapa buruk kondisinya dan bagaimana konsekuensinya terhadap kehidupan kami. Aku sangat yakin Diane (dan aku) akan menerima dengan hati yang lapan dan tentu saja sama-sama berjuang lebih keras lagi menyadari ketiadaan yang kami miliki. Ditambah lagi.. kami sudah cukup dewasa, atau mungkin kami punya isi kepala yang sudah cukup untuk menampung diskusi tentang peliknya kehidupan. Kami tidak ingin tumbuh menjadi seorang anak hasil iming-iming mimpi manis yang ternyata hambar. Kekecewaan Diane dan tindakan Ayahnya, membawaku pada luka lama yang juga pernah dibangkitkan oleh film NKCTHI.

Kejujuran adalah hal paling murah yang bisa kita berikan. Itu saja cukup buatku. Apa yang terjadi pada akhirnya sekarang? Diane tetap pergi, Aku pun. Untukku, pergi adalah sebuah konsekuensi yang sekiranya layak diterima. Aku ditidak tahukan maka aku akan memilih hidup dengan ketidak tahuanku, selamanya. Bukan berarti kita tidak saling menyayangi atau tidak tahu terima kasih, tapi hidup harus tetap berlanjut. Kami tidak kabur, hanya mencari cara lain untuk menyelamatkan diri. Harapannya, dengan diri yang selamat ini kami bisa menyelamatkan banyak hidup dan memutus lingkaran kebohongan yang mengakar.

 

Quarantine Tales: Happy Girls Don’t Cry (2020), film tentang gadis dan keluarganya yang terkena dampak ekonomi akibat pandemi. Singkat cerita, gadis itu memenangkan give away berupa PC fancy dan tentu saja nilainya sangat tinggi dalam rupiah. Lalu apa yang mau aku bahas? Disini aku akan memposisikan diri (dan kebetulan, lagi-lagi bisa berada di posisi gadis itu). Keluarganya yang sedang kesusahan, tentu saja tidak akan berpikir panjang untuk menjual PC itu. Disini dualisme terjadi. Hasrat manusiaku, akan berpihak pada gadis itu. Seorang muda yang selama ini diracuni oleh tayangan foya-foya, pasti ada keinginan kuat dalam hatinya untuk memiliki hal serupa. Dan saat wujudnya sudah di depan mata, ia akan bertaruh dengan nyawa sekalipun untuk mempertahankannya. Narasi yang membuatku tergugah adalah,

 

Ibu dan Ayah gak pernah tahu kan rasanya jadi kakak yang sudah sabar belasan tahun.”

 

Kurang lebih seperti itu. Aku memang tidak pernah ada di posisi ini. Namun yang bisa kutarik rasanya adalah, saat aku tidak bisa mengambil keputusanku sendiri terlebih itu atas segala sesuatu yang kuperjuangkan dan telah lama kutahan. Aku sangat ingin menikmati buah kesabaran itu dan kenapa masih saja terus ditunda-tunda? Kadang orang lain lupa, ada hal yang tidak kita sampaikan mungkin itulah yang sangat kita inginkan. Aku mengerti rasanya bersabar dan bertahan.

 

Gadis itu sempat luluh saat ayahnya mengadu dan meminta maaf kalau ia bukanlah seorang yang bisa mencukupi pinta anaknya. Namun kembali pada kodratnya manusia dan rasa kepemilikannya, ia bertanya berapa bagian yang akan ia dapat. Ia tidak rela kalau hasil penjualannya habis untuk membiayai kebutuhan hidup dan membayar hutang ayahnya yang ia rasa bukan kewajibannya, bukan tanggungannya. Aku mengerti. Ia lelah dan kebetulan di film ini ayahnya cukup playing victim (di mataku) dan tidak pandai bernegosiasi. Jadi sangat wajar jika anaknya bereaksi seperti itu (kamu akan mengerti pada akhir film).

 

Aku bukan seorang perhitungan. Kalau bisa kubayar dan kuberi semuanya, akan kuberi asalkan tidak ada lagi masalah di duniaku. Itu adalah prinsip yang selalu aku pegang. Aku tidak menyayangi uang, yang kusayang adalah kedamaian dan ketenangan. Itu kenapa aku bertaruh dengan waktu mencari uang hanya untuk hidup tanpa masalah. Aku beberapa kali bertemu dengan seorang yang perhitungan dan itu sangat membuatku terganggu. Aku cukup heran dan jengkel karena orang seperti itu tidak hanya memperpanjang masalah tapi juga merepotkan orang lain. Entahlah, manusia tujuan hidupnya berbeda. Mungkin ia ingin mati diselimuti uang. Aku selalu berdoa, semoga aku jauh dari sifat serakah itu.

 

Oke, kembali. Disini aku sudah muak menjadi gadis versi satu, jadi aku akan berganti menjadi gadis versi dua. Sebagian dari penonton pasti akan langsung memilih menjadi gadis ini,

 

Ya sudah, jual saja PCnya. Masalah uang selesai dan kalau memang sangat ingin PC pun masih bisa beli yang lebih murah dari uang penjualannya

 

Aku pun. HAHAHAHA. Karena sekilas masalah akan selesai dan memang selesai kan.

 

Tapi manusia kadang lupa berempati, lupa untuk menaruh kakinya di sepatu gadis itu. Kita tidak bisa benar-benar merasakan apa yang orang lain rasakan sampai kita benar-benar ada di posisinya. Ini bukan soal PC ya. Aku akan membawanya pada permasalahan umum. Banyak sekali diantara kita memberikan solusi yang padahal kita sendiri tidak pernah mengalami masalahnya. Hal itu bukan saja buruk pada korban, melainkan pada lingkungan yang tercipta. Satu dari setiap kita akan merasa paling mahir dan tidak mau mendengarkan. Tone deaf. Akhir-akhir ini sering terdengar di media sosial bukan? Dan ini yang membuatku sangat tidak nyaman. Film ini juga berhasil menyentil tentang gap ekonomi saat ini. Bukan berarti satu orang menderita yang lain tidak boleh bahagia, bukan. Ini tentang kesamaan rasa, ukuran bahagia untuk setiap manusia berbeda tapi rasanya sama. Happy girls don't cry.

Komentar

Postingan Populer