Yang Sudah Selesai & Yang Seharusnya Diselesaikan

 Kalau garis adalah titik-titik yang berserikat, lalu kenapa kita berlomba-lomba mencapai garis akhir? Bukankah itu artinya berharap titik-titik berhenti bekerja.” 

– Aku, bingung.

 

           Empat sekian hari yang lalu, aku menyadari ada titik yang hampir tiba pada ujung tujuannya. Ya, sekalipun aku tidak tahu betul itu benar-benar tujuan yang ia inginkan atau hal lain. Tapi apalah arti keinginan kalau porsi tanggung jawab jauh lebih besar. Secara teknis, titiknya mencapai checkpoint terakhir februari lalu. Secara simbolis, tiba di hari ini.

 

Selama ini aku hanya merangkak dari satu titik ke titik yang lebih kanan, tanpa peduli apakah remahan roti ini menunjukkan arah yang tepat. Selama kita percaya Tuhan Maha Baik, kita akan jauh dari kata tersesat, katanya. Nyatanya memang benar serupa. Hal-hal mengenai apapun yang hari ini selesai, aku akui menakjubkan. Deretan titik yang kukira berangkaian horizontal, ternyata mampu membawaku tinggi ke puncak, juga tidak segan-segan menamparku sampai jatuh ke puncak lainnya. Lucu sekali, hidupku dipermainkan oleh titik-titik.

 

           Rasa puas tidak datang sendirian, ia hampir selalu dibersamai dengan rasa sesal. Meski kadang keduanya beradu siapa yang lebih hebat. Disusul dengan rasa bangga, yang kadang lebih suka bersembunyi dibalik rasa malu. Kalau boleh berkata kasar, kalau boleh, aku hanya butuh tenang, tidak yang lainnya. Namun rasa tenang selalu enggan menyapaku, ia hanya melambai seolah-olah aku yang harus menjemputnya. Padahal aku sama sekali tidak keberatan kalau ia duluan yang menghampiriku. Sudah barang tentu aku akan menyiapkan jamuan yang mewah. Sayangnya, ia terlalu keras hati untuk itu.

 

            Hari ini tenang tidak datang lagi, melambai pun tidak. Aku curiga ia hanya akan datang saat aku tiba di titik paling akhir, aku curiga kalau hari ini bukan ujung tujuanku, aku curiga tenang sedang menertawakanku saat ini! Sudah lebih dari enam tahun yang bisa kuingat, aku menantikannya. Atau mungkin lebih tepatnya, aku kehilangan. Kalau tenang memang berniat menjauh, kenapa ia tidak lenyap saja? Kenapa ia terus menggodaku dengan berdiri di satu titik lalu berpindah menjauh ke titik lain yang kukira bisa kuhampiri nyatanya tidak.

 

        Begitu juga dengan kamu, seorang yang menjelma tenang tapi pada akhirnya membiarkanku menjadi lebih kacau. Apa urusanku sendiri belum cukup merepotkan menurutmu? Apa aku terlihat seperti manusia kurang kerjaan yang bisa seenaknya memikirkan kamu dan menumpuk harapan di atasnya? Maaf. Aku sudah cukup marah pada tenang, seharusnya tidak padamu.

 

            Sudah lama aku tidak berdoa, sepertinya hari ini kecewaku memberikan ruang yang lebih lapang untuk bersyukur. Aku tahu, aku tidak cukup berani dan beruntung untuk selesai lebih cepat. Tapi, kuharap ada sesuatu yang bisa benar-benar bisa kuselesaikan di titik ini. Hidupku mungkin berlanjut, karena bukan itu yang sudah selesai. Garisku bisa jadi masih panjang, atau mungkin sangat panjang. Bermanfaatlah.

Komentar

Postingan Populer