Preposisi

 

Aku selalu ambil peran untuk memiliki banyak pilihan. Padahal diantara itu semua,

tidak satupun memilih keberadaanku.” – Aku, sedih.

 

Keberuntungan datang pada mereka yang hadirnya menjadi arti dan ketiadaannya menjadi hampa. Tentu saja bukan padaku. Aku berani bertaruh 1:1 orang tidak berharap ada aku sebagai poros utamanya, pelengkap mungkin iya. Pada akhirnya, aku pasti akan selalu berjalan sendiri.

 

Rasanya sangat sulit bagi mereka untuk datang dan menetap untukku. Atau mungkin aku terlalu banyak meminta? Padahal ya, sama sekali aku tidak memaksa mereka mewujudkan mimpiku, membawa bahagia atau membersamaiku di setiap langkah. Karena yaa.. Aku punya mimpi, bahagia dan langkahku sendiri. Mereka cukup mengejar mimpinya sendiri, bahagianya sendiri, langkah yang mereka rencanakan sendiri. Kemudian kita istirahat sejenak, saling berbagi untuk memberi rasa pada dunia yang semula penat. Kita akan ada pada titik yang sama, setara, saling menghibur, memberi ucapan dan menutupnya dengan senyuman. Itu saja kukira cukup. Tapi kenapa selama ini kita (aku) selalu gagal.

 

Sejak itulah aku selalu berasumsi kalau aku bukanlah seorang yang seharusnya (diharapkan) untuk melengkapi hari dari masing-masing mereka. Kata ganti ‘mereka’ terdengar seperti kita beramai-ramai merayakan rasa ya haha. Tapi terima saja karena kamu hanyalah salah satunya sebelum kamu membuatku menjadi satu-satunya.  Permainan yang cukup adil kurasa.

 

Kesedihan paling manis yang pernah dan akhirnya selalu membekas padaku adalah saat merelakan. Melepaskan sesuatu yang memang tidak pernah benar-benar ada untukku. Memori dan relikui hanya berputar menunggu waktunya untuk pudar. Kita termakan usia.

 

Jatuh cinta itu jebakan, nyaman juga. Pilihan yang ada di depan matamu itu bukan untuk dipilih, ia akan menggugurkan dirinya sendiri sampai akhirnya terlihat siapa yang bertahan.

Komentar

Postingan Populer