Hari Raya dan Alasan Kebencian yang Perlu Diungkap

 "Kalau Pram adalah seorang liberalis, maka aku adalah kaum yang dibelanya."

Aku, dan penindasan.


Raya bagi sebagian orang memiliki arti yang sangat intim dan sakral, atau mungkin memang begitu seharusnya. Raya bagiku tidak lebih dari sekedar ritual dan serangkaian strategi menyibukkan diri dengan ikatan yang fana. Bersalaman, bersapa dan bercengkrama apakah itu merupakan sketsa kemenangan? Aku membuat daftar catatan kenapa Raya patut aku benci.


Tradisi yang sempit.

Aku berkenalan pada tradisi dengan segala sesuatu yang dipaksakan ideal. Kondisi dimana setiap entitas tidak mampu dianggap tidak normal atau parahnya tidak mau berkorban. Timbangan adil disini telah menjadi sama rata dengan pukul yang saklek. Tiada maaf bagi mereka yang tidak pulang, menyempatkan waktu dan memutuskan prioritasnya. Raya ini sempit. Saat rumah terbuka lebar namun hati dan pikiran masih tertutup, inilah letak normal yang berkeliaran disini. Tradisi ini hanya perkara dimensi, bukan lagi urgensi. Bagiku, perasaan Raya bisa tetap tersampaikan dengan berbagai monumen cantiknya. Raya yang agung, damai dan mampu menambatkan hati kita pada satu rumah yang sama. Raya yang terapik dikemas dalam tradisi selapang maaf samudera.


Refleksi yang prematur.

Kesalahan sudah menjadi bagian dalam diri manusia, dan aku. Seperti hal Raya-raya pada umumnya saling bermafaan, manusia bermaafan namun tanpa tahu apa sebab musabab khilafnya. Apakah manusia lupa bermaafan pada diri sendiri? Kata maaf ini menjadi salam yang hambar dan lahir prematur. Harapannya adalah bukan dengan mengelaborasi, menyebut semua dosa yang terjadi, namun sesederhana refleksi mengingat hal itu telah menikam menyakiti. Kodrat kesalahan adalah dimaafkan, aku tentu memaafkan (dengan syarat). Aku percaya tidak semua berhak menerima maaf, terutama maaf yang datang tanpa refleksi. Maaf yang sekedar pengganti halo, hai atau mungkin selamat tinggal. Raya bagiku adalah momen dimana aku menyadari kesalahan, memahami keadaan, dan mempelajari untuk tidak mengulangnya. Namun 25 tahun berjalan, aku menyaksikan Raya-raya formalitas berulang.


Aktualisasi yang dangkal.

Ramai pertanyaan yang dirasa mengganggu hadir dengan jawaban yang tidak mau kalah menyebalkan. Aku seorang tidak terganggu dengan pertanyaan, karena bagiku semua obrolan hanya basa-basi-busuk pemecah suasana dari para amatir. Satu yang aku temukan setelah merunut akarnya, percakapan ini hanya mencari aktualisasi diri mereka. Kasihan. Aku iba pada manusia yang mengangkat derajat dengan menurunkan harkat manusia lain. Mereka seolah tahu standar manusia, padahal manusia yang mana? Aku juga iba pada manusia yang terpaksa beramah tamah demi memuaskan ego manusia lain. Berdirilah, manusia diciptakan hina namun bukan untuk dihina. Manusia mendapatkan nasihat untuk berlomba dalam kebaikan, bukan segala cara dihalalkan. Hal ini membuatku risih dan selalu ingin menghindari obrolan dangkal tanpa permisi. Mungkin sederhanaku tidak sederhana, mungkin sederhanaku adalah obrolan makan siang kurang garam dengan pujian menuju sehat. Semudah itu menciptakan Raya yang damai.


Evaluasi yang kerdil.

Manusia hijrah dari Raya ke raya. Sudah menjadi nalar yang sehat untuk manusia berkembang dan berevolusi. Belakangan ini maraknya terjadi degradasi, terutama di episode moral dan akhlak. Manusia tidak kembali ke fitri, manusia hanya menaburi gula pada duri-duri yang mereka tebar. Evaluasi yang kembali menghadirkan luka-luka baru, mengungkap sebuah kesalahan lama, memuncak emosi. Sampai disini, arti evaluasi bahkan mengabur tak siap menghadapi celaan. Menurutku, aksi saling tikam tidak mungkin terjadi apabila, masing-masing pihak mau atau berniat untuk evaluasi. Niat saja kurasa sudah cukup sebagai pemanasan. Ganjaran paling adil bagi mereka yang tidak mau evaluasi, seharusnya tidak diberikan Raya. Aku lelah dengan masalah yang diceritakan berulang, dikorek-korek dengan paksa tanpa mengobati, tidak konkrit apa solusinya. Raya datang dibersamai dengan perasaan badai setiap tahunnya.



--- Epilog.

Kebencian lainnya tertuju pada manusia korban inflasi daya nalar. Kalau orang marah adalah orang sedih yang sesungguhnya, maka aku adalah orang sedih yang tersakiti, yang paling menyedihkan. Pola pikir masyarakat yang tergerus aplikasi kandang monyet, kemudian melempar batu pada kondisi,

"Namanya juga anak-anak."

Yang demi kebaikan bersama, aku tahan untuk tidak menghujat, 

"Ya, anaknya kan punya orang tua."

Hal-hal yang mungkin kembali mereka jawab,

"Kamu kan belum punya anak." 

lalu berakhir pertikaian pada Raya yang tentu tidak aku harapkan.


Nasihat yang sering kali aku dengar,

"Tidak ada keluarga yang sempurna, setiap manusia punya sisi negatif."

Yang demi kebaikan bersama, aku tahan untuk tidak menghujat, 

"Tidak perlu kita normalisasi kekurangan ini, kenapa kita tidak fokus memperbaiki diri dan berhenti menerima apa adanya?"

Hal-hal yang mungkin kembali mereka jawab,

"Kamu perlu belajar untuk hidup bersama, karena kamu tidak bisa hidup sendirian."

lalu berakhir pertikaian pada Raya yang tentu tidak aku harapkan.


----

Raya bagiku harus cantik, megah dan sejahtera. Kalau tidak, maka aku tidak perlu Raya.

Komentar

Postingan Populer