hanya percakapan
-->
“apa yang kau fikirkan bila semua
menjadi seperti itu?” tanyanya. “aku tak tahu, tak tahu harus rendah atau
tinggi. Yang pasti aku tak nyaman dengan ini” lirihku. “lalu kau mau apa?”
pertanyaan yang ku takutkan akhirnya terldengar. “entahlah, mungkin hanya
kenyamanan” hanya kata itu yang ada di benakku. Aaaah aku tak tertarik untuk
membahas topik ini. Topik yang hanya membuatku diperangi batin, membuatku
terpaku, membuatku kelu.
Memang lelah terbandingkan, apalagi
bila tertuntut untuk menjadi sepertinya. Tapi, seharusnya ku bahagia dengan
keadaan ini, terbandingkan dengan sesuatu yang sangat jauh diatasku. Bukankah sangat
terbanggakan? Berarti aku tersetarakan dengan sesuatu yang jauh itu, berarti
memang aku telah menjadi setinggi itu. Tapi ku lelah memangku ini. Seperti
beban, yang seharusnya tak menjadi beban melainkan motivasi. Entahlah kuingin
rasa ini enyah saja.
“siapkah kau?” tanyanya.
“berhentilah bertanya! Kau mengerti keadaan ini, bukan? jadi kuingin kau mengerti diriku juga” hanya
itu yang bisa kuungkap. “baiklah,” berlalunya. puas tak puas, harus puas dengan
apa yang didapatinya.
“hey masih difikirkan?” tanyanya.
“terfikirkan lebih tepatnya” mungkin hanya itulah kata yang cocok fikirku.
“lalu bagaimana kelanjutannya?” kembali
dia bertanya. “aku tak tahu, yah sebenarnya tak mau tahu” jelasku.
“kalau begitu lekas cari tahu” desaknya. “hei ku lelah, untuk menerka saja tak
kuasa” alasan yang kurasa cukup ampuh itu ternyata tak berarti. “itu bukan kau
yang kuidolakan” sahutnya dengan nada kres. “kau mengidolakanku?” kucoba
menetralkan. “bukan hanya ku, tapi dia, mereka, dan semuanya” sekarang entah C#
atau A# yang ia gunakan. “kenapa aku?” berniat tuk netral tapi malah membuat
situasi ini basa. “tak pernahkah kau sadari? Tak pernahkah kau mengerti? Tak
pernahkah kau pahami? Kau punya semuanya. Untuk lagi apa kau mengeluh” ini
menandakan ku harus diam, tapi ku tak ingin diam. “tapi dia, mereka, semua
lebih dariku. Aku tak mengeluh, hanya sedikit lelah.” Bantahku. “enyahkanlah fikiranmu
itu” dia berlalu.
Aneh dengan mereka. Mereka yang
membandingkanku, seakan menuntutku, tapi mereka sendiri yang memberitahuku
bahwa ku pantas diatas. Kalau aku sudah pantas diatas, untuk apa dituntut lagi?
“yaa untuk lebih naik lagi” sudah jelas, itu yang akan mereka katakan. Tapi ku
lelah terbandingkan, walau mungkin maksud mereka baik. “hey ingat, bagaimanapun juga harus mengerti, bagaimanapun juga harus
paham, bagaimanapun juga harus percaya...” ujarnya dengan senyuman. Baiklah,
biar kucoba, tapi aku takkan berjanji.
Tak cukupkah hanya terbandingkan
untukku? Sekarang tertambah lagi menjadi tertirikan. Shhh… risih! “kau itu
terlalu istimewa, kau memang pantas mendapatkannya” jelasnya sambil tersenyum. “dapat
sesuatu yang disebut tiri ya? Great!” geramku. “sudah tak usah dihiraukan
mereka begitu karna kau pun begitu bukan?” paparnya. Sejenak tak mengerti apa
yang ia katakan, aku? Jadi penyebabnya aku? Diriku sendiri? So haruskah aku
menjadi bukan aku untuk menjadi kandung? Ah memang kemauan mereka itu sulit
ditebak. “sudah kukatakan bukan, bagaimanapun juga
harus mengerti, bagaimanapun juga harus paham, bagaimanapun juga harus
percaya...” senyumnya. “aku bosan dengan ini, penat, bisakah aku terbebas?”
sedihku. “ini hanya perasaanmu, ini hanya fikiranmu, kau hidup dalam kenyataan,
bukan dalam mimpi, kau bisa bangun bukan? Kau bisa bangkit? Itu artinya kau
bisa terbebas” senyumnya lagi.
Komentar
Posting Komentar