empat tahun ini
Sejak jauh dengan rumah, aku lupa seperti apa rasanya jujur, aku lupa rasanya sadar kalau aku tidak baik-baik saja, aku lupa menjadi aku. Lama-lama aku pandai menipu diri.
Sejak itu aku menghilangkan ruang bicara.
Aku lebih sering membuat segmentasi dari pendengarku. Misal, aku akan cerita kepada fia-krisna tentang A, siwi-halimah tentang B, nissa-vk-dea tentang C, almas tentang D, fachri-ilham tentang E, amron tentang F, krisna tentang G, widi-audric tentang H, yasmin-yumna tentang I, dan siapa lagi? Itupun diantara mereka jarang sekali mendapatkan cerita versi penuh. Kalau ada satu orang yang ingin tahu aku sepenuhnya, sepertinya harus mengumpulkan remah-remah roti dari masing-masing mereka. Kalau ada.
Apakah aku merasa penuh?
Pura-puranya sudah. Sejujurnya aku masih mencari satu orang, iya cukup satu
orang untuk merasa penuh, untuk menampung semua ceritaku, untuk ada hanya
buatku. Bercerita memang membuatku merasa utuh. Tapi sampai saat ini, belum ada
seorang yang bisa aku percaya untuk menjadi ahlinya aku. Keluarga? Entahlah.
Titik nyamanku bukan disana. Kurasa mereka cukup dengan menerima kabar baik dan
angin sejuk dariku. Selain itu aku terlalu merepotkan dan membuat panik nanti.
Lagipula aku selalu tidak siap dengan respon apapun yang diberikan.
Diluar dari cerita yang
banyak aku tebar dimana-mana, masih ada beberapa hal yang belum bisa kulepas
pergi, itu mengarah seputar ‘gimana perasaan aku’. Dari hal kecil bahkan yang
membuatku merasa besar, tidak pernah sekalipun bisa aku ungkapkan. Gimana
rasanya masuk IPB yang mana pernah aku impikan. Gimana rasanya tinggal di
asrama yang sangat bukan aku. Gimana rasanya ditolak banyak UKM. Gimana rasanya
menemukan teman untuk pertama kali. Gimana rasanya gagal di akademik. Gimana
rasanya sakit satu setengah semester. Gimana rasanya kabur buat mencari
kebebasan. Gimana rasanya menang di suatu kompetisi. Gimana rasanya kalah.
Gimana rasanya dihargai. Gimana rasanya jadi mapres. Gimana rasanya dikenal
orang. Gimana rasanya bisa ketemu seseorang yang ternyata mengubah cara pandang
aku terhadap dunia. Gimana rasanya jadi aku.
Kira-kira pertanyaan itu
yang tidak pernah aku jawab, bahkan kepada diri sendiri. Untuk menjadi kuat,
aku menepikan semua perasaan. Segala sesuatunya harus bersumber atas pemikiran
dengan alasan yang bisa diterima dengan logika. Tapi karena itu, aku malah jadi
mati rasa – atau mungkin hanya pingsan. Entah karena aku yang enggan membagi
perasaan itu, atau karena aku merasa tak menemukan orang yang tepat untuk berbagi.
Lebih tepatnya, memangnya ada orang yang mau kuhujani cerita setiap malam? Aku
takut kalau itu hanya akan menambah beban untuknya. Padahal harusnya cerita ini
kan tanggung jawabku.
Ini seperti memendam bom
waktu, jelas aku hanya tinggal menunggunya meledak, menunggunya menjadi
serpihan yang lebih kecil lagi. Padahal momen yang kutunggu selama ini adalah
saat dimana aku bisa bercerita dengan merdeka, seluas-luasnya isi kepala,
seutuh-utuhnya isi hati, selebar-lebarnya senyum, sekencang-kencangnya tangis
tanpa perlu terbebani apapun. Apapun. Tanpa perlu berbohong dan berpura-pura
lagi. Aku ingin diterima lengkap dengan setiap kepingan ceritaku.
Komentar
Posting Komentar