Prolog



Tengah siang ini kembali ada yang menyapa sehangat mataharinya. Sederhana saja, “Teh Rahma... Selamat ulang tahun...” bisa ditebak bagaimana rasanya, seperti terlahir kembali. Tentu saja, siapa yang tidak suka berulang tahun, terlebih Aku di siang ini. Seolah mereka tahu akan sesuatu yang membuatku mati rasa dan ingin kembali hidup. Selamat ulang tahun saja sudah cukup untukku. Dari mereka yang seharusnya sudah kukenal, mungkin kenal hanya saja tidak akrab, tapi tunggu saja aku akan mengembalikan sapa bila ada kesempatan. Terima kasih ya. Ini seperti don’t trust what you see, even salt looks like sugar. Mereka jauh dari apa yang kalian bayangkan, riasan seadanya dan gelas-gelas di sekitarnya cukup memperkenalkan. Siapa kira mereka akan mengenalku? Lucu memang, tidak selamanya ketidakbaikan datang dari teman yang belum berteman baik. walaupun kadang tidak bisa dipungkiri hehe. Seperti kita di beberapa pekan lalu. Ah sudahlah, aku menikmatinya – rasa baru dalam setiap ucapnya.
Tapi omong-omong, sejujurnya bukan itu yang menjadi monolog malam ini. Mau bohong, tapi sudah bosan. Mau jatuh hati, sudah terlanjur patah hati. Benar pun menjadi salah, apalagi yang salah? Atau benarnya salah sekalian? Mulai deh retorika.


#1
Akhir-akhir dari sini atau mungkin untuk yang paling akhir, rasanya beda. Badan tetap, tapi isi dan penglihatan lain. Terlebih di musim ujian sekarang ini. Sedikit sekali belajarnya, kebanyakan menggerutu bahkan memaki kesepakatan yang dibuatnya. Politik basa-basi kerap terjadi, manalagi yang untung diperuntungkan. Keterasingan yang kubuat sendiri cukup membuat rasa segan bertegur. Keseganan yang dengan pasti menimbulkan kebencian hanya bisa ditunda-tunda. Semuanya tertata rapi dalam barisan senyum-senyum simpul.

#2
Sementara sendiri ini sekarang segan mengapung di permukaan. Maunya terus juga tenggelam pada dasar persoalan dalam setiap perbincangan. Terlalu tinggi memang, tapi ini pernyataan menghargai yang menatapnya tinggi. Kalaupun harus tahu sakitnya terjatuh nanti. Kenapa orang lain mudah sekali memberi pandangan? Padahal hanya dirinya yang tahu betul batas kemampuannya. Menurutku boleh saja memberi penilaian, asal jangan sambil mengernyitkan dahi apalagi sampai menyesal pada akhirnya. Banyak sekali bentuk penyesalan, aku tahu mereka tahu.

#3
Lagi-lagi pandang yang terarah padaku menjadi pandang orang-orang yang belum kukenal rasanya. Pandangan yang menulis karangan yang semua tak tahu kecuali dia sendiri, atau mungkin mereka sendiri. Tunggu, mereka tidak sendiri. Sebagai jawaban aku menuding tentang apa yang salah. Tentu saja aku bukanlah yang benar, hanya setidaknya aku tahu mana yang salah. kebetulan saja aku serba salah.

#4
Ini bukan persoalan diatas kertas seperti beberapa hari lalu. Persoalan yang sejatinya diatas normal dari semua yang dipersoalkan diatas kertas. Andai saja hidup bisa mencontek.

“I have learned silence from the talkative, toleration from intolerant, and kindness from the unkind. Yet strange, I am ungrateful to these teachers.” – Kahlil  Gibran. Sayangnya aku tidak bisa membuat hal ini menjadi sederhana seperti yang diatas siang tadi, maaf.

Komentar

Postingan Populer