Untuk Peri Biru

Selamat malam Peri Biru. Aku tahu ini sudah kelewat malam untuk menyapa. Tapi tidak apa ya? Semalam ini pun sudut hatiku masih penuh dengan tanya.
Peri Biru, apa kau pernah sendirian? Aku punya banyak pertanyaan tentang itu, tentang sendiri yang sepi itu katanya.

Apakah sendiri itu artinya tidak berbagi? Saat aku bahagia, aku lupa membaginya, kadang saja berkata terima kasih pada yang membuatku bahagia, tapi lebih sering tidak menyapanya. Aku hanya lupa Peri Biru, atau ya tidak sempat, tidak menyempatkan saja. Aku juga punya banyak sekali teman, semua hal juga harus aku bagi, tapi tentu saja aku tidak mungkin menyempatkan barang semenit untuk pergi ke jauh. Apa itu artinya aku bahagia sendiri? Ayolah Peri Biru, aku bahagia bersama mereka-mereka yang juga bahagia.

Sebelum bahagia ini, tentu saja aku pernah sedih. Tentu saja tidak sendirian, apa rasanya sendirian saat sedih? Peri Biru mungkin akan berubah jadi peri abu-abu. Karena itu aku tidak pernah lupa membagi rasa sedihku, selalu saja minta ditemani. Merengek hingga sedih itu jauh. Lalu aku bahagia lagi, lalu aku akan dengan segera kembali pada bahagiaku. Lantas bagaimana perasaan seorang lain atas itu? Bukannya menemani itu memberi teman? Memberi kan tak harap kembali, Peri Biru. Lagipula sedih itu tidak datang berbarengan. Aku ingin bahagia, kubagi bahagiaku, kuhapuskan sedihnya. Seperti itu sama saja bukan? Apa yang tidak perlu lagi hanya mengharap kembali, Peri Biru.

Aku ingin memperbaiki suatu yang sudah baik. Kabarku baik, sangat baik, tapi apa aku masih baik saat aku tidak peduli kabar seorang lain? Bukannya seorang akan baik saat mendengarku baik, kecuali saat jatuh hati. Tapi itu bukan soal bukan? Menautkan hati adalah hak, tidak peduli apa bedanya aku dengan seorang lainnya. Sampai saat ini pun aku baik saja, tertaut pada hati yang kurasa baik juga baik tentunya.

Aku tahu Peri Biru, banyak sekali kemarin-kemarin yang harus aku tanggalkan. Bisa jadi aku yang sekarang terlalu lelah untuk lagi menaruh janji pada seorang lain. Menjadi hebatlah menjadi manusialah, seperti kekanakkan untukku. Tidak, aku tidak lupa kemarin, aku hanya ingin sesuatu untuk besok, itu artinya aku harus meninggalkan kemarin bukan? Besok itu akan lebih indah Peri Biru, aku selalu berharap begitu.

Hanya saja.. Peri Biru, aku takut. Kala aku bahagia nanti, aku pergi begitu saja, menghilang seperti sihir pinggir jalan, bergerak menjauh seperti pura-pura lupa kenangan. Barangkali nanti aku tidak mengindahkan seorang teman jatuhku? Aku takut Peri Biru, karena aku baru saja tahu rasanya semua itu.

Dengan senyum,
Pinokio atau Pinakio. Sesukamu saja mau yang mana.

footnote. Dari lagu Dewi Lestari, Malakat Juga Tahu.

Komentar

Postingan Populer