Toleransi

 "Aku bisa mentoleransi apapun, kecuali kebodohan"

- Aku, si paling angkuh


 Satu hal yang menjadi bekal aku bertahan hidup sampai sekarang adalah prinsip 'aku harus bisa segala hal yang aku mau'. Sesuatu yang tidak mungkin tapi sangat aku usahakan. Berkat itu aku tumbuh menjadi individu yang gigih, ambisius dan sombong. hehe. Kita kembalikan ke akarnya, aku sepakat kalau pintar bukan hanya terbatas untuk bidang akademik. Aku menghormati segala kemampuan yang dimiliki manusia. Tapi permasalahan yang bagiku sangat mengganggu adalah ketika bertemu dengan ketidakmampuan manusia dalam memproses hal sederhana. Pernyataan 'masa gitu aja gak bisa' seolah valid untukku, meskipun tidak pernah aku sampaikan secara langsung. 

Dengan segala privilege-nya, aku berhasil menyelesaikan masa sekolah (TK-SMA) dengan gemilang. Tapi jangan salah, masa studi lanjutanku juga berakhir ✨gemilang✨ (bisa tamat aja udah syukur). Dengan kata lain, aku mengalami fase dimana aku bisa dan fase aku tidak mampu. Aku paham betul rasanya berada di puncak rantai makanan dan menjadi bangkai. Itu juga menyebabkan, aku sering berdiri di ujung jurang kesenjangan intelektual. Kembali, ini bukan tentang seberapa tinggi nilai kamu di kelas. Ini tentang seberapa sederhananya cara kita berpikir untuk menyelesaikan masalah. Klise, tapi aku tentu masih menghormati manusia yang berjuang mengerjakan soal meski akhirnya salah ketimbang menyontek. Mudahnya kita aplikasikan pada kehidupan, aku hormat pada manusia pejuang ketimbang pengambil jalan pintas. Analoginya mungkin dirasa kurang pas, tapi intisarinya cobalah diresapi.

Kita juga mengenal kebodohan struktural, yang mengakibatkan seorang anak terlahir dalam lingkaran ketidakberuntungan. Hal ini memperjelas kalau meningkatkan kualitas SDM bukan hal yang gampang dan bisa selesai dalam 1 generasi. Kalau sudah sampai disini, aku bingung harus menyalahkan siapa.

Sebenarnya, solusi bagiku bukanlah semua orang harus menguasai 1001 pengetahuan. Melainkan cukup dengan meningkatkan kemampuan nalar sederhana, memahami basic human sense, dan yaa.. tidak bertindak bodoh (?). Kalau perlu contoh bertindak bodoh, yaaa bisa dilihat pemerintah ndableg tercinta kita bagaimana ya. Aku percaya ada masalah yang jawabannya bukanlah kamu pintar atau tidak. Sesederhana, sebelum melakukan satu hal kita bisa berpikir dua kali, lebih matang dan punya rencana. Pelan-pelan aku juga mencoba menurunkan ekspektasi dan belajar menerima perbedaan. Adegan di film Feel the Beat ketika guru mereka mengingatkan sesuatu tentang proses sangat menamparku. 

"Mungkin nona April lupa kalau tidak semua orang terlahir sempurna sepertinya."

Aku, si nona April itu. Secara teknis tentu aku tidak sempurna, tapi satu hal membuatku merasa setiap orang minimal harus bisa menjadi seperti aku. Padahal latar belakang dan kemampuan mereka tentu berbeda. Mungkin mereka sudah berusaha tapi belum juga mencapai garis standar bagiku. Ya.. banyak faktor. Kita hidup berdampingan, kita yang lebih beruntung sebaiknya bisa membantu dengan bijak. Tapi sesekali emosi juga sangat dianjurkan. haha. sekian.

Komentar

Postingan Populer