Bukan Gadis Kretek

"Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis.

Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari."

- Nyai Ontosoroh


Aku suka sekali tulisan Pram, terutama Tetralogi Buru yang sampai aku menulis ini rasanya masih bercampur di kepala. Ternyata kesukaan itu bukan hanya tentang karakter semata, ada banyak variabel kenapa aku menyukai semua tulisan Pram. Salah satunya adalah... latar. Aku menyukai cerita sejarah yang mungkin luput dari sudut mata khalayak ramai. Rasanya ada nilai moral yang mereka bubuhkan, ada perasaan mendalam yang terus menikam tanpa berkesudahan. Aku menyuka cerita yang terbelenggu, terbungkam dan tidak merdeka. Sampai pada akhirnya aku jatuh cinta pada Gadis Kretek.

Tulisan ini bukan resensi tentang buku atau pun film serinya. Melainkan intisari kerangka berpikir yang menari di kepalaku yang meronta meminta pembebasan. Bukan deng. Tapi, iya. Aku suka proses menulis, bersuratan, mencatat semua isi hati dan kepala pada satu media. Karena... ya, tadi. Suara kita abadi. Rasanya aku ingin berterima kasih pada siapapun masa lalu yang menulis. Karenanya aku bisa menikmati buah dari surat yang meski dalam wujud cetak maupun digital. Tapi itu sangat berarti. Sekali lagi, itu kenapa alasanku terus menulis. 

Pernah sekali, pada medium lain aku menulis untuk mendapatkan popularitas. Aku tidak menulis isi kepalaku melainkan aku tulis rumor di pasaran. Hasilnya ya jelas, laman itu tidak dihapus pun sudah beruntung. Tidak ada kunjungan, tidak juga ada diskusi. Ternyata yang aku benci bukan sepi, lebih pada aku tidak merasa hidup. Disini aku bisa menuliskan apapun, sebebas-bebasnya tanpa peduli siapa yang kelak membacanya. Apa yang aku suarakan tidak menyanjung, menyakiti ataupun memangsa khalayak ramai. Aku hidup dalam kepalaku.

Sudah lama sekali aku tidak menjadi diri sendiri. Rasanya sejak mulai peduli pada orang lain, semuanya jadi runyam untukku. Aku sangat merindukan dimana aku melambung, tenggelam, terkoyak dengan ikhlas. Saat itu memang berat, tapi aku terus menjadi kuat dan semakin baik-baik saja. Rasanya, tidak apa tidak ada yang bisa kita percaya ketimbang harus percaya lalu terluka kan?

Cinta pada gadis ini kuat sekali, menggenang membuat banjir bandang, menenggelamkan semut-semut kecil yang menggelitik. Bebannya ia bopong sendiri, lukanya ia balut dengan lapang dada. Hidupnya tidak berat, tapi tidak juga serba mudah. Namun satu yang pasti, ia masih mau bertahan.

Komentar

Postingan Populer