POSE : ingatan


‘click’. “ah sial, secepat itu ia terbang” dua detik terasa begitu cepat untuk membuat burung yang kubidik terbang. Teknik panning yang aku kuasai, shutter speed yang tak kalah cepat, apa yang salah? Logikanya burung tak terbang dalam kecepatan 250 km/jam. Tak ada gambar cantik hari ini.


“hahaha kau belum beruntung” ujar seorang yang tak kusadari memerhatikan hasil jepretku. Masih belum habis kesalku pada unggas tadi, ia menyodorkan kameranya dan membuatku semakin gerah. Freeze. Burungnya terbang tapi ia berhasil memotret dengan pose yang pas. Hampir saja aku berdecak kagum, tapi aku takut ia melayang. “lumayan” ujarku setengah memuji. “itu gambar simple, tak perlu banyak teknik, tak perlu banyak perhitungan. Ikuti saja alurnya.” Ujarnya berkawan. Aku balas tersenyum. “senyum doang?” ledeknya, “orang iri yang sok tegar itu memang cuma bisa senyum ya hahaha” pungkasnya berlalu. Baguslah, pergi saja, jangan sampai asam lambungku naik karena candanya yang kecut. Kalau diluruskan, bukan iri yang kurasa tapi kagum. Ya kagum atas semua santainya, kepala dingin bahkan hampir beku yang ia miliki sejak lahir – begitu yang ia ceritakan.

Ia kembali dengan dua kaleng minuman favoritku. “nih” katanya sambil melempar minuman berkarbonasi itu. “hei, waras dong!” teriakku. Tentu saja aku terkejut, kaleng itu berkarbonasi dan efeknya dahsyat bila terkocok. Disisi lain juga bagaimana jika kalengnya mengenai kepalaku itu akan fatal. Ah lupakan. Ia duduk disebelahku, tersenyum. Tunggu, darimana ia tahu ini adalah minuman favoritku? Tak pernah sekalipun aku memberi tahunya. Mungkin hanya kebetulan pikirku. “hobimu melamun? apa enaknya?” candanya singkat. “aku bisa kabur ke bawah sadar, itu cukup menghibur” bantahku. “ah manusia galau” dibarengi dengan cengirannya. Itu, ya cengiran. Satu yang bisa membuatku kembali full. Memang tidak semanis es cendol yang biasa mangkal di taman kota, tapi itu cukup membuat gula darahku naik. Dengan kadar gula cukup tinggi, tentu saja kegembiraanku meningkat. Filosofi kembang gula.

“hari ini kau gagal fokus, kenapa? Sudah jangan segan, biasanya kau buat novel kan? Cerita tanpa titik” ia menawarkan. Lucu memang, aku terkadang lupa daratan kalau sudah curhat – begitu kalangan muda zaman sekarang menyebutnya. Ia menjadi salah satu pendengar setia, ya walau aku tahu ada beberapa hal yang kurang ia pahami. Tapi ia hebat, ia membunglon sehingga semua saling nyaman. Ia rela mendengarkan cerita berulang-ulang layaknya kaset radio rusak.

“heh, masih berapa lama melamunnya? Nanti kalau sudah selesai bangunkan saja, mau tidur” ujarnya setengah semangat sambil berbaring di rumput. “yah dia ngambek hahaha” dia hanya tenang tanpa respon. entah kenapa ada yang membalikkan semangatku. Aku menenggak tetes terakhir minumanku. Meliriknya, mengambil kameranya. Kuamati fotonya satu-satu. Simple memang, sederhana, tapi elegan, dia sukses memerkosa tiap objeknya. “hei hei! Itu privacy. Balikin balikin.” Ia merebut kameranya. “kamera ini jiwaku, yah mungkin lebih tepat memorinya sih, anggap saja ada beberapa hal yang tak bisa kubidik dengan mata dan kuharap itu abadi.” Ia tersenyum. Ia kembali merapikan rumput, berbaring.

“kau tahu?” aku memandang langit yang terhalang ranting-ranting pohon tinggi dengan efek alami dan lensa pemberian Tuhan, damai sekali. “kau tidak suka keramaian?” ujarnya singkat. “hei? Kau paranormal. Aku baru saja ingin mengatakan itu” seruku. Ia membuka matanya, bangun, membersihkan punggungnya yang terkotori rumput kering, duduk, lalu membenarkan posisi jam tangannya. Ah itu, aku selalu tertarik saat ia membenahi jamnya, tak bisa kujelaskan, yang kutahu ada magnet yang membuat mataku tertuju dan tertahan disana untuk sekian detik. Tak perlu efek khusus, lighting seadanya pun tetap terlihat keren. “kau selalu mengatakannya. Saat matamu menatap langit, saat kau menarik panjang nafasmu, saat kau menatapku dengan mata itu” ia berujar. aku meliriknya. “nah kan mata itu ahaha” lanjutnya. “apa yang lucu?” tanyaku heran. “kau” ujarnya pendek. Ia menengadah dan kembali hening.

Hampir satu jam aku disini, tapi sampai saat ini tak ada moment yang bisa kuabadikan. Kebiasaanku menghapus foto yang tidak sempurna sehingga tak ada satupun yang tersisa, malas aku melihatnya. Ada sih beberapa yang kubiarkan tersisa, itu pun dipaksa olehnya. Foto tetesan air. Ia sangat tertarik pada air – begitu yang ia ceritakan. Tak sedikit bidikannya yang berobjek air. Air hujan, air sungai, air laut, air kopi, air sirup, air susu dibalas air tuba, ah abaikan. Katanya air itu hidup dan menghidupi. Aku tak banyak bertanya tentang itu, aku membiarkannya menyimpan rahasia itu. Bukannya aku tak peduli, tapi kupikir semakin misterius semakin keren. Ketimbang air, aku lebih tertarik pada gerimis. Aku tahu gerimis juga air,  tapi gerimis lebih unik dari sekedar air. Baiklah aku dan dia sama-sama menyukai air, tapi kurasa kami mempunyai prespektif yang berbeda. Ia dengan airnya, dan aku dengan gerimisku.

Aku tersadar, aku melirik ke arahnya. “loh apa?” ujarku terkejut. Kupikir ia tidur tadi, ternyata matanya mengawasiku. “aku heran kenapa kau tahan sekali melamun lama-lama, kau manusia kan?” hening sejenak, kemudian ia tertawa “hei hei ayolah, tersenyum, tertawa, menggila, atau apapun itulah yang kau mau sebut, aku tak melihat dirimu” ia membidikku. Aku tersenyum, senyum mengenaskan. “great, jadi apa masalahnya disini?” tanyanya dengan tatapan penuh kepoan. Sebenarnya aku pun tak tahu apa yang menciptakan gundah ini. Aku rasa ada lubang-lubang kecil – seperti lubang di gigi. Entah apa yang harus kupakai untuk menambalnya. Hampa, ya hampa kurasa kosong.

“apa ini tentang kepergianku?” tanyanya lembut. “hei… aku tak mengucapkan selamat tinggal, aku hanya berkata sampai jumpa. Ia kan? Itu jauh berbeda” ia mencoba menghangatkan sedang aku hanya terdiam. Perkataannya ada benarnya juga, mungkin aku merisaukannya. Dia datang secepat flash yang akan pergi saat katup lensa menutup. Mengapa waktu berputar cepat saat baru saja kutemukan titik fokusku, titik nyamanku. Yang kubidik selama ini ternyata berbuah manis sesaat. aku harap ada tripod yang menyanggaku saat ini. Aku rapuh, lubang itu perlahan mulai menggerogoti, membesar menyesak dalam jiwa ini. Baru saja aku mengenalnya dan tak lama lagi cahaya akan merengutnya. Bisa jadi hari ini adalah perbincangan perpisahan.

“apa aku akan menjadi klise, tanpamu?” akhirnya bisa kuluapkan segala keresahan yang tertanam. Keningnya berkerut, tak kulihat lesung pipit di kanannya. “dengar, kita nyata. Bukan sebuah gambar, bukan juga foto. Kita ada dan nyata layaknya perpisahan itu. Ini bukan lelucon Tuhan, ini jalan yang Ia berikan untuk mendewasakan kita berdua. Bukannya takdir lupa mempersatukan kita, tapi takdir memberi kita waktu untuk saling merindu. Kita akan tetap menjadi kita, tak pernah menjadi aku dan kamu. Kau mengerti?” ia tersenyum. Perlahan memberi garis lengkung pada wajahnya yang kemudian memusat pada satu cekungan di pipinya. Aku balas tersenyum. Membaik.

Hening. Ia santai memainkan rumput disampingnya. Tiba-tiba kulihat sesuatu yang cantik, dengan sigap aku berdiri dan meraih lensa. Kulihat ada seekor kupu-kupu di ranting sana, sedikit sulit dijangkau tapi kupaksakan membidik. Perlahan kutodongkan lensa kearahnya, kuputar fokus sehalus mungkin, tahan nafas… click. 2 detik layar menghitam dan kembali menampilkan sorotan lensa. Kutekan tombol view, tak perlu kujamah setiap detailnya, melihatnya saja membuat alisku berkerut. Ah. “jangan dihapus” ia mengingatkan, mataku menentangnya heran. “kau akan kehilangan moment itu, foto hanya diambil satu kali” ia tersenyum menambahi. Aku berjalan gontai kearahnya, berharap ada sihir yang menghapus gambar ini. Ia menjulurkan tangan dan meraih kameraku lalu tersenyum lagi kearahku – entah untuk keberapa kalinya ia tersenyum. “aku bukan pelawak, jangan menertawakanku” ujarku malas. Ia mulai mengamati perlahan, memperkosa setiap detailnya, ia tersenyum sesekali, lama-lama aku bisa membenci senyum itu – senyum yang membuatku kelu. “kau bercanda? Bokeh-mu keren, kurang apa lagi?” ia tersenyum puas seraya menyodorkan kameraku. “itu memang bokeh, bokeh paling gagal yang pernah ada. Kau bisa lihat sendiri, jelas-jelas objekku kupu-kupu tapi kenapa fokus dirantingnya? sedang kupu-kupunya? itu bokeh yang luar biasa” timpalku kesal. “ah sudahlah, abaikan. Aku tidak suka pertengkaran, apalagi melihatmu marah. Aku tak ingin menjadi penyebab marahmu. Damai” ia menumpuk salam damai pada tangannya sehingga cenderung membentuk huruf W ketimbang peace. Apa boleh buat, aku kalah dan tersenyum.

“oiya, nih” ia menyodorkan sebuah bingkisan lumayan besar yang kuharap isinya bukan sebuah bom. Kuraih bingkisan itu, “untukku? Apa ini?” aku mencoba menerka apa isinya. “kau boleh membukanya sekarang, aku tahu kau tak akan sabar menunggu besok hahaha” iya menggodaku. “kenapa harus lakukan besok kalau bisa lakukan sekarang” pungkasku . “hei, tapi kenapa?” aku yang heran semakin semangat membukanya. “sudah itu untukmu, kalau banyak bicara aku bisa mengambilnya kembali” ia mencoba mengancam. “ah kau ini” aku mengejeknya. Sambil merobek rapi ujung bingkisan, aku mencoba menganggap wajar hal ini, ya pemberian seorang partner. Bungkus luar sudah terkelupas rapi, yang tersisa hanya kotak pembungkus. Tak sulit membukanya karena semua terbungkus rapi. Akhirnya terbuka! Mataku membulat saat bagian atas terlihat. Kuamati perlahan, rasa penasaranku sudah terbayar lunas tuntas. Setelah Minuman, pembicaraanku, warna favorit, dan sekarang minitrekker? Sebuah tas DSLR model  backpack, barang yang sedang kuinginkan? Silver, ia tahu warna favoritku – padahal aku tak memberitahunya sebelumnya. Paranormal.

“kau, mmm… bagaimana bisa?” tanyaku sesopan mungkin “apa yang tak bisa kulakukan untukmu? Hahahaha cepat berterima kasih” iya kembali menggoda, kali ini digenapkan dengan cengiran khasnya. Aku balas tertawa, senang, bingung, terharu, semua dalam satu tubuh. “baiklah, mmm… manusia, terima kasih atas pengertiannya – barang ini. Atas keluh kesah, atas waktu, atas kesukarelaanmu mengenalku, aku bahagia” entah pujangga mana yang merasukiku, tapi sponta kata-kata itulah yang terlontar dari bibir ini. Terdengar konyol memang ketika aku yang mengucapkan dengan wajah datar. Tapi tak apalah, inilah aku. “terima kasih juga atas penggenapan hariku” ia tersenyum.

Sebenarnya aku kurang paham apa yang ia katakan tadi, tapi mungkin intinya ia berterima kasih. Ingin sekali kuabadikan moment ini, namun terkadang aku beku saat harus berpose bersamanya, mungkin ia pun begitu. Sebelumnya tak pernah kami berfoto bersama, yaa pernah sekali ketika kunjungan luar kota, itu pun jarak kami tak kurang dari dua meter. Setelah itu belum sekali pun kami berfoto lagi. Beberapa waktu lalu sempat ada beberapa relasi yang menginginkan foto kami berdua sebagai fotografer dalam acaranya, tapi ia menolak tanpa alasan. Itu membuatku segan berfoto dengannya. “mungkin kita bisa mengenang moment ini” ia berdiri dan memasang tripod, kurasa ia mengatur timer, dan mulai membidik. Aku diam mematung, apa ini? Mengapa dia sangat bukan dia? Entah apa yang ingin kukatakan, atau apa yang harus kulakukan, yang pasti adalah mukaku pasti sangat aneh dengan ekspresi melongo seperti ini. Ya, ada yang berbeda dengannya, ada yang terjadi padanya, tapi aku menyukainya. Semua tingkah yang membuatku nyaman, ocehan yang mengantar fantasiku, dan ah itu! Anomalinya mampu membuatku kalap. Simplenya, aku bahagia.

Ia kembali dan duduk disampingku, “enam foto. Siap-siap” ia menatapku. aku tak mau berpikir panjang tentang tatapan itu, jangan memaksaku. “kamu serius? Oke siapa takut” aku mencoba untuk sebiasa mungkin. Lampu timer menyala, tanda pengambilan foto pertama segera dilakukan. Click. Pose standar, ia dengan jempolnya dan aku dengan dua jariku. Click. Kami tertawa, bersama menggabungkan dua jari. Click. Aku mati gaya, padahal ini baru pengambilan ketiga. Aku mencoba melirik padanya. Tak pernah kulihat senyum se-enjoy dan selepas itu dari bibirnya, kurasa sesi foto ini cukup membuatnya senang. Aku balas tersenyum kepadanya. Sebelum klik keempat, ia merangkulku. Sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya, dan aku hampir koma dibuatnya. Entah ekspresi apa yang kubuat saat itu, aku bertaruh pasti jelek. Aku pun tertawa, ya hanya itu yang bisa kulakukan untuk memecah suasana. Memang tak ada yang lebih dan special, tapi itu mengejutkan. Dilanjutkan dengan pengambilan selanjutnya, tentu saja aku masih dalam rangkulannya. Tapi tentu saja aku sudah bisa beradaptasi. Diakhir pose, kami tertawa cukup lama. Sepertinya ada beberapa syaraf kami yang terjepit akibat sesi tadi.

“pukul berapa sekarang?” tanyanya saat situasi kembali tenang dan terkendali. Aku mendongak melihat langit, “kurang lebih tiga” jawabku. “malas sekali beranjak dari tempat ini haa… tapi kalau tidak keluar sekarang beruang disini bisa saja mengamuk hahaha” ia membereskan peralatannya yang jauh lebih sedikit dari yang kubawa. “ternyata kau tak sesimple yang kukira” ia melirikku yang kerepotan, lalu menertawakanku sambil membungkus sampah snack yang kami makan tadi. “ah sudah untung kau tak kubungkus juga” celaku “kau sangat ingin membungkusku ku ya? Untuk apa? Di pajang di lemari kaca agar saat kau merindukanku kau bisa mengeluarkanku dari dalamnya? Ahahha” dengan lantangnya ia berkata. Aku berniat membalasnya, “konyol, aku tahu kau makhluk endemik. Tapi peraturan rumahku melarang selain manusia untuk masuk” tawaku puas. “jadi selama ini kau tidur di luar rumah?” katanya datar. Aku mengernyitkan dahi. “hei aku manusia lah!” bantahku. Ia tertawa-tawa bangga. Rasanya aku ingin tertawa, menertawakanku, menertawakan kami, moment seperti ini yang membuatku selalu full bersamanya. Kulirik minitrekker pemberiannya untuk terakhir sebelum kumasukan dalam ranselku, manis. Beberapa hal yang membuatku candu, beberapa kata tak cukup mengungkapkannya. Anggap saja ada yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Seperti sekarang ini.

‘click’. “ah sial, secepat itu ia terbang” dua detik terasa begitu cepat untuk membuat burung yang kubidik terbang. Teknik panning yang aku kuasai, shutter speed yang tak kalah cepat, apa yang salah? Logikanya burung tak terbang dalam kecepatan 250 km/jam. Tak ada gambar cantik hari ini. 
Hahaha aku gagal fokus lagi. Bagaimana bisa aku membidik saat fokusku tertuju padanya. Ia yang tak lebih dari teman satu proyek, yang kadang membiusku dengan tingkah lakunya, yang cukup menyita waktuku dengan segala distorsinya. Rasanya baru kemarin kami menghabiskan waktu bersama, disini, genap dengan lensa ini. Dan sekarang, saat semua mulai berubah, saat rasa tak lagi berkata pahit, saat pose kita tak lagi renggang, saat itu aku akan merindukannya. Ya, Ia pergi berlayar mengejar cakrawala, dengan perahu mimpinya, berbekal tekad dan nazarnya. Tak lama aku mengenalnya namun lebih dari cukup untuk bahagia, lensa luar biasaku .Terima kasih, semoga kau tak kembali dengan lupa ingatan.







Ingatan pertama, selamat cap :)

Komentar

Postingan Populer