Tak Sempurna : sebatas cerita


Tak seperti biasanya, aku terbangun sebelum lonceng berbunyi, ya lonceng itulah pengganti jam weker. Suaranya memang tak begitu nyaring, tapi sarat akan arti. Aku mulai bangkit dan merapikan tempat tidurku. Kulirik temanku diatas, ia masih terlelap, bahagia sekali. Saat itu kulihat jam menunjukan pukul 03.22. Aku bingung dengan apa yang harus kulakukan sepagi ini, keluarga panti pun pasti masih terlelap. Aku memilih diam seraya bersyukur karena masih bisa merasakan udara pagi. 
Aku jarang sekali menyapa dunia luar, tepatnya aku tak ingin mengenal dunia luar lebih jauh. Tapi saat jendela ini terbuka, aku merasa aku harus bercengkrama dengan keluasan dunia ini. Langit biru, hijaunya rumput, wewangian bunga yang mekar, aroma tanah pagi hari, juga kicauan burung yang sangat merdu menemaniku pagi ini. 
Aku Darren, seorang penyandang bisu yang juga menempati singgasana beroda, berumur 15 tahun lebih. Selebihnya tak ada yang istimewa. Aku tinggal di panti ini sejak lahir bersama penyandang cacat lainnya dan entah sampai kapan. Aktifitasku di panti sebatas membantu Ibu, dan mengasuh adik-adik lain. Aku menuliskan setiap kata untuk berkomunikasi. Tentu saja aku bisa menulis dan membaca, namun tetap saja aku tak bisa mengucapkannya, jadi yaa apa gunanya? 
“Hey kau membuka jendelanya? Apa yang kau lihat?” temanku yang baru saja tiba dari kamar mandi menghampiriku. Aku hanya tersenyum. “Baiklah aku harus membantu Ibu di ruang makan, kau jangan lupa mandi, dan jangan sampai telat datang ke meja, kami semua tak ingin kelaparan karenamu” ia tersenyum dan pergi meninggalkanku. 
Aku ingin menceritakan apa yang baru saja aku lihat, dan apa yang aku rasakan saat ini. Aku ingin mereka mendengar curahan hatiku, aku ingin bisa dimengerti oleh mereka. Aku tak ingin mereka hanya melihat senyumku. Tuhan… aku mulai lelah dengan apa yang kualami.
Setelah mandi, kuputuskan untuk langsung pergi ke ruang makan. Tapi, jendela itu seolah menggodaku untuk bertengger disana. Entah kenapa, akhirnya kusambangi jendela dan kembali menikmati suasananya. Namun ada yang berbeda, di seberang sana, tepat di samping warung, ada sekelompok anak-anak atau remaja atau entahlah apa itu namanya, mungkin seusia denganku. Mereka mengenakan kemeja putih, celana biru tua dan abu-abu, dilengkapi dasi, rapi sekali. Mereka juga membawa gendongan entah apa isinya. Wajah mereka terlihat sangat ceria, tentu saja mereka berjalan dan berbicara. Mereka saling lempar umpan gurauan sepertinya, mereka tertawa bersama. Ah.. betapa senangnya bila aku bisa seperti mereka. Tapi kemana mereka akan pergi? Sepagi ini? Apa yang akan dilakukan? Namun tak lama, mereka pun hilang dari pandanganku.
“Darren… sedang apa kau? Kami menunggumu sejak 30 menit yang lalu. Cepat ke ruang makan” Arista mengejutkankanku. Tanpa membuang waktu, aku segera bergegas ke ruang makan. Sebelum keluar kamar, kembali kulirik jendela, tapi tak ada lagi gerombolan putih biru – putih abu itu.
Di tengah sarapan, aku masih tidak bisa berhenti memikirkan gerombolan putih biru – putih abu itu, yah aku lebih suka menyebutnya begitu. Ingin sekali kutanyakan pada Ibu, tapi Ibu pasti menjawab, ‘Sudahlah, simpan saja pertanyaanmu itu. Lebih baik kau bantu Ibu membersihkan panti ini’
Sejak itu, setiap pagi, aku selalu menunggu mereka yang berpakaian putih biru – putih abu itu. Awalnya hanya ada 4 sampai 5 laki-laki, lalu keesokan dan keesokan harinya lagi bertambah beberapa orang perempuan. Namun mereka tidak pernah melintas di hari Minggu pagi. ‘Bukankah hari Minggu adalah hari yang menyenangkan? Kenapa mereka tidak bermain bersama?’ pikirku. Sangat ingin aku bercakap dengan mereka. Tapi bagaimana? 
Parahnya semakin hari, keadaanku semakin memburuk. Aku tak berharap lebih, aku sudah siap untuk kembali. Mungkin disana aku lebih tenang, atau mungkin aku bisa menemukan orang tuaku, atau n juga disana aku bisa berbicara dan berlari sesuka hati. Mmm.. betapa beruntungnya mereka yang sempurna. Semoga mereka tidak menyia-nyiakan apa yang mereka miliki.
Pagi ini, kurasa badanku rapuh, sakit sekali. Bahkan aku tidak bisa merasakan kakiku. Aku meringis kecil sehingga teman sekamarku terkejut “Darren… kau kenapa? Ibu.. ibu.. ibu..” kudengar temanku berteriak. Seketika semua gelap, hening, sunyi. Aku berfikir, mungkin inilah saatnya. Kalau benar, aku siap. Sangat siap.

---------------- 2 minggu berlalu ---------------

Hangat, aku bisa merasakan hangat matahari pagi ini. “Darren?” suara halus itu membuatku tersentak. ‘Tuhan.. itukah ibu kandungku? Sudahkah aku mati?’ pikiranku melayang. Seketika itu ku bukakan mata, gelap, remang-remang, dan… ‘ibu?’ Ibu panti terlihat sangat terkejut, ia panik kemudian berlari keluar. aku terkejut ketika melihat suasana di sekelilingku, ruangan ini seperti di salah satu setting ruangan di sinetron yang pernah kulihat, di tanganku terdapat selang yang menancap, dan dihidungku terpasang selang yang mengeluarkan angin. Mungkin untuk membantuku bernapas. Tak berapa lama, seseorang yang mengenakan baju putih menghampiriku, melihat benda kubus seperti TV namun lebih kecil yang ada si sampingku. Ibu berada tepat di belakangnya. Ia sedikit terisak, dan kadang meneteskan air mata.
‘Dimana aku? Apa yang terjadi?’ pikirku. Seseorang berbaju putih tadi tersenyum padaku. Kemudian Ibu memelukku dengan haru. Sedikit kudengar Ibu berbincang-bincang dengan seseorang yang memakai baju putih itu, Ibu memanggilnya Pak Dokter. “Kemajuannya sangat pesat sekali, ini sangat bagus, anakmu istimewa, namun, …………” papar Pak Dokter pada Ibu. Aku tak mendengar jelas apa yang mereka bicarakan, aku tak ingin tahu, karena bisa saja itu pertanda buruk. namun aku selalu diajarkan untuk berhusnudzan, sehingga tak ada kecemasan di benakku.
Entah sudah berapa lama aku di tempat ini. Rumah sakit, itu yang Ibu bilang untuk tempat ini. Beberapa kali kamarku dipindahkan, beberapa kali juga aku hampir tidur di lorong. Ibu tak pernah memberi tahu apa yang terjadi, dan sampai kapan harus seperti ini. Beberapa kali aku bertanya, Ibu hanya menjawab dengan jawaban yang sama. Ibu selalu menjawab “kau tak perlu tahu apa yang terjadi, tapi lakukanlah hal bermanfaat yang bisa kau lakukan saat ini. Dan jangan sekali-kali kau mencerca keadaanmu. Ingatlah, kau lebih beruntung dibanding mereka”. Aku tak mengerti mengapa Ibu berbicara seperti itu, tapi aku sangat setuju dengan tiap kata yang keluar dari mulut Ibu. 
Pada akhirnya aku diperbolehkan pulang, tapi aku masih belum boleh turun dari tempat tidur. Pernah sekali aku berusaha turun dan mengambil beberapa buku bacaan, namun aku terjatuh, dan Ibu marah besar padaku. Sejak itu buku-buku selalu ditempat yang dekat dengan ranjangku. 
Di panti, aku ditempatkan di kamar pembimbing, kamar yang seharusnya menjadi kamar Ibu dan pembimbing-pembimbing lainnya. Di kamar ini terdapat banyak buku, peralatan mengajar dan yang paling menarik, Televisi. Ibu selalu bilang bahwa televisi itu kotor, cucilah dan gunakanlah setelah bersih. Maksudnya? Aku juga tak mengerti, mana mungkin aku diperintah mencuci televisi, turun dari tempat tidur saja tidak diijinkan. Aku menghabiskan banyak waktuku di tempat tidur dengan membaca buku, karena aku lebih tertarik pada buku daripada televisi. Aku mendapat banyak sekali pelajaran, khususnya pelajaran moral yang jarang aku dapat secara langsung selama ini. Sedikitnya aku mengerti mana hal yang baik dan mana hal yang buruk. Bahkan beberapa buku membuatku cukup kuat untuk mempertahankan hidup ini.
Ketika aku melihat beberapa tayangan di televisi, akhirnya aku mengerti apa maksud perkataan Ibu. Kadang, di salah satu stasiun TV menayangkan hal yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Seperti tayangan tentang pencurian, mereka mengambil barang orang lain tanpa izin. Tapi mengapa mereka melakukan itu? Mereka terlahir sempurna, seharusnya mereka bahagia. Harusnya mereka menggunakan tangan dan kaki mereka untuk hal yang lebih bermanfaat. Mereka belum tahu bagaimana rasanya hidup tanpa kaki dan tangan yang sempurna. Juga tayangan yang mereka sebut infotainment atau gossip, mengapa mereka selalu mengorek aib atau kesalahan orang lain? Bahkan membicarakannya di depan umum. Mulut tak berfungsi seperti itu, mereka seharusnya berbicara yang baik sebelum mulut mereka terkunci. Mulut mereka sempurna, tapi kenapa mereka malah mengotorinya? Tidakkah mereka ingat, disini banyak orang yang sangat menginginkan untuk bisa berbicara. Dan satu lagi, gerombolan putih biru dan putih abu yang biasa kulihat diluar, mereka bertingkah aneh, mereka brutal, merokok, kejam terhadap perempuan, menipu orang lain termasuk orang tuanya. Mengapa bisa? Apa yang kurang dari mereka untuk menjalani hidup? Mereka sempurna, jauh lebih sempurna dibandingkan denganku. Tidak bisakah mereka melakukan hal yang lebih terpuji? Apakah mati konyol adalah pilihan mereka? Aku tak mengerti.
Sudah sangat lama sekali aku tak pergi melihat gerombolan putih biru – putih abu diluar. Aku kembali teringat dengan beberapa tayangan di televisi yang menayangkan kebrutalan mereka. Aku ingin mengetahui keadaan mereka sekarang. Apakah masih seperti dulu? Mereka yang rapih dan ceria.
Setelah melakukan negosiasi yang cukup berat dengan Ibu, akhirnya aku diizinkan pergi ke jendela, namun dengan batas waktu 2 jam. Ini hari Sabtu, pasti mereka melintasi jalanan ini. Aku sangat antusias menunggu mereka datang, kursi roda dan infusku ini tak menghalangi semangatku. Tak berapa lama mereka datang, namun… mereka datang dengan kesan yang berbeda. Mereka kotor, kusut, brutal, seperti seorang yang tak terawat. Empat orang diantara mereka, termasuk satu perempuan disana menghisap rokok dengan bangganya. Keadaan mereka berbeda dengan saat pertama kali aku melihatnya. Mereka yang dulu terlihat malu-malu mendekati perempuan, sekarang telah berani melilitkan tangannya di pinggul seorang perempuan yang juga memakai baju yang sama. Dan para perempuan disana yang dulu mengenakan rok dibawah lutut, sekarang menggunakan rok yang jauh diatas lutut. Pasti bukan ekonomi alasannya, sekarang bukan jamannya krisis moneter. Tapi ini krisis MORAL! 
‘Mengapa mereka bertindak konyol seperti itu? Itu sangat berkebalikan dengan moral bangsa Indonesia yang pernah kubaca di buku. Perilaku mereka juga sangat jauh berbeda dengan pemuda-pemudi terdahulu. Apa yang mereka pikirkan? Tidakkah mereka sadar dengan tanggungan masa depan bangsa di pundak mereka? Aah.. andai saja aku menjadi mereka, aku pasti tak akan menyia-nyiakan kesempurnaan itu. Aku punya kaki untuk melangkah membawa kemajuan, aku punya tangan untuk membenahi segala kekacauan, aku punya mata untuk mengawasi segala kecurangan, aku punya mulut untuk membela dari segala penindasan, aku punya hati untuk mencintai bangsa ini, dan aku punya tekad untuk menjadikan aku dan pemuda lainnya sebagai generasi pencerah bangsa ini’. Ini bukan mimpi bagiku, ini alasan mengapa aku bertahan hidup sampai sekarang.
Mereka, para pendahulu, menitipkan masa depan bangsa ini kepada kita, para pemuda. Tapi bila kita para pemuda mengabaikannya, akan kemana bangsa ini dibawa oleh arus zaman yang kejam. 
Dari sini aku tersadar, dengan segala kekuranganku, dengan segala keterbatasanku, aku akan mencoba membuat semuanya menjadi sempurna sesuai dengan apa yang aku harapkan. Dalam sujudku, aku selalu menyisipkan doa untuk pemuda-pemudi yang sempurna di luar sana, semoga tergugah hatinya dan semoga mulai membenahi sekelumit masalah dengan segala kesempurnaan yang mereka miliki. Semoga mereka mempunyai tekad yang lebih dariku,  seorang yang tak sempurna. Amiin…










Posting kali ini berawal dari ajang menulis di sekolah, dan keprihatinanku akan mereka yang menyianyiakan hingga akhirnya tersiasiakan oleh hidup. semoga bermanfaat, cap :)

Komentar

Postingan Populer