Normal itu Pilihan


“Aku pengen hidup normal. Tapi gak tahu yang normal kaya apa.”
– Aku, yang idupnya cuma asal idup

Kita dipaksa untuk memenuhi standar manusia, tapi gak tahu manusia yang mana. Kita dianjurkan untuk hidup senormal mungkin, tapi gak tahu yang normal kaya apa. Selama kita gak pegang prinsip kenormalan, kurasa sah-sah aja kalau ada yang mau normalisasi. Tapi aku punya definisi normal sendiri, ya memang belum bisa kubuat jadi prinsip baku (karena hidupku belum menjadi tanggunganku sepenuhnya). Bagiku, hidup normal adalah hidup yang kujalani tanpa mengeluh. Gimana ya… gini deh, kasarnya hidup normal adalah hidup yang aku mau jalani ehe. Karena dengan terpenuhinya kemauanku (bukan hanya kebutuhan), maka aku akan merasa cukup, gak ada acara ngeluh-ngeluh. Pencapaian terbesarku ya ketika ketenangan jasmani, rohani dan finansial terpenuhi. Perlu digaris bawahi juga, hidup normal bukan normatif bagiku. Ada beberapa segmen (yang kuharap bisa) keluar jalur. Jangan kaget kalau ini semua tentangku, aku jarang mikirin orang lain.

Kalau dijabarkan secara teknis, hidup normal yang kumaksud kira-kira seperti ini:
Tinggal di tempat bersih, satu ruangan cukup (kostan misalnya, atau apartment untuk level up) dengan jendela dan sinar matahari. Lingkungan tetangga yang peduli tapi tahu batasan (aku gak bisa dibawelin, tapi gak suka dicuekin). Punya pekerjaan yang bisa kunikmatin dengan jam kerja senin sampai jumat dan brief yang jelas, gak apa freelance selama prosesnya menyenangkan dan bikin aku berkembang. Gaji? Bisa buat sewa tempat tinggal, makan, beli ipad pro dan biaya wifi udah cukup. Sabtu minggu punya waktu buat istirahat dan keluarga, sukur-sukur kalau bisa jalanin projectan sama temen (sekedar hobi, gak harus cuan). Sejauh ini baru itu yang kepikiran. Sebenernya kusuka pekerjaan yang mobilitasnya tinggi, I mean bukan duduk di kantoran, tapi sepertinya aku gak punya skill lebih untuk itu. Jadi aku cari aman, ya semoga aja kalau ada kesempatan aku bisa terjun kesana.
Hal yang aku hindari dan jadi ketakutan terbesarku adalah... hal yang kurasa normal adalah sesuatu yang tidak normal bagi sekitar. Padahal gak ada indikator baku untuk mengukur kenormalan suatu entitas. Apalagi buat culture keluargaku ya, sepertinya akan sulit. Aku juga bingung aku terpapar apa, dimana, oleh siapa untuk punya skenario hidup seperti itu. Haha Englishman.

Sebagai penutup, aku bukannya menantang takdir Tuhan, ini negosiasi. Hidup memang misteri, jadi aku gak mau mati biasa aja.

Komentar

Postingan Populer