Problematika Tahun Keempat

                    Lulus cepat, pilihan atau privilese?

Aslinya banyak banget yang harus diselesaikan hari ini, dari kemarin malah, tapi aku gemes sama pembahasan yang bikin tidurku gak nyenyak. Kita ini lagi ngapain sih?

DULU

Waktu masih sekolah bisalah dibilang aku diatas rata-rata. Sepersekian kegiatan mau lomba atau bukan, kayanya isinya aku mulu. Akunya sih seneng-seneng aja bisa jalan kesana-kemari, tapi yaaa tetep aja ada suara sumbang yang bikin sakit kepala. 

"Iyalah, dia kan anaknya (sebut papaku). Bisa ini, bisa itu karena les juga. Ibunya juga deket sama guru ini guru itu. Ya, jelas aja"

Kerasa gak sih kalau pencapaian yang aku raih itu sebatas karena aku punya privilese? Aku sih ngedengernya gitu. Tapi percaya deh, dulu aku nanggepinnya itu lebih sewot dari yang ngomong. Gini loh, pencapaian itu ya karena kamu usaha, bukan karena kamu punya privilese. Aku teriak-teriak tuh di status facebook, sama di blog ini juga perasaan wkwkk. Sampe dapet tweet sindiran (aku juga gatau kenapa dia balesinnya di twitter, dulu aku males main twitter karena kena bot, aku dapet skrinsutan dari temenku haha)

isi tweetnya:
"Ngomong tinggi-tinggi bla bla bla (aku lupa)"
Intinya sebuah sindiran, gausah sok ketinggian deh lu. Apaan sih, biasa aja napa. Orang-orang juga gak peduli sama yang lu omongin. Nah gitu.

Aku dulu sama sekali gak paham ketika orang-orang anggep aku punya privilese. Pokoknya aku keukeuh. Aku berhasil ya karena aku berusaha. Itu pilihan kamu loh mau berhasil atau gagal. Kalau kamu merasa gak punya privilese, ya usaha lebih keras. Dah, sampe disitu.


SEKARANG

Semenjak masuk kuliah, aku mandang banyak hal bukan cuma dari permukaannya doang. Jadi emang bener-bener dipikirin asal muasalnya, sebab akibatnya, sampe masalah solusinya. Lingkaranku dulu kecil dan cenderung terkungkung, katakanlah aku sekolah cuma sebatas radius 10 km dari rumah. Jujur ini sebuah penyesalan karena mainku kurang jauh akhirnya ehe. Kebayang dong gimana shocknya ketika harus kuliah di Bogor, dan ketemu orang-orang baru dengan latar belakang yang beda banget sama aku. Dari mulai tahun pertama, aku langsung minder karena.. gatau, aku ngerasa cupu aja. Oke bukan itu yang dibahas.

Aku ada di bogor itu bener-bener gak punya apa-apa, gak ada siapa-siapa. Belajar adaptasi dan bertahan hidup itu susah ternyata. Ditambah... 'oh momentku' berubah jadi 'gilak moment'

"gilak dia anak (sebutlah kompetisi dunia)"
"gilak dia punya (sebutlah barang kasta tertinggi di pikiran kalian)"
"gilak dia cantik amat"
"gilak IPKnya"

Dan setelah gilak moment itu, aku sadar... hidup mereka lebih mudah dari aku, karena beberapa hal yang udah dari sononya. Itu apa namanya, bukan privilese? Padahal dulu aku pernah punya prinsip, kalau keberhasilan itu bukan karena punya privilese. Tapi gak bisa dipungkiri, kalau seorang dengan privilese akan lebih mudah mendapatkan hal itu.

Kerasa banget di tahun keempat ini, ditengah pandemi makin kerasa situasi gak enaknya. Tapi serius, siapa orang yang bertahan hidup dengan bahagia kalau bukan karena privilese yang dia punya sekarang? Kan. Ada beberapa hal yang memang terjamin karena dia punya privilese.

Sama kaya tugas akhir, aku gak mencari pembelaan karena aku terlambat, bukan. Siapa sih yang mau lulus lama-lama? Tapi kan gak semuanya bisa lulus cepet-cepet. Apa sih yang dikejar? Aku sih ukt lah jelas. 

Sampai disini aku ketemu kata kuncinya, resume dari statement Dulu dan Sekarang. Rasanya, aku cuma kurang empati. Hampir aja aku bilang:

"Yah, dia enak. Kondisi rumahnya mendukung, terfasilitasi dengan baik, gak perlu mikir bisa bertahan sampai kapan di kondisi kaya gini, urusannya gak banyak jadi bisa fokus skripsian, gak perlu kerja buat ngais recehan"

Dulu aku ngerasain gak enaknya dibilang gitu, aku bisa jadi orang jahat kalau sampe bilang itu. Karena.. terlepas itu privilese atau bukan, mereka berjuang loh, mereka berusaha, akunya aja kan yang gak pernah tahu?
Kalaupun previlese itu benar adanya, ya gapapa. Kenapa aku perlu repot uring-uringan karena keadaan orang lain? Akan ada saatnya aku bisa bangga sama diri sendiri, lebih menghargai diri sendiri, lebih menerima kondisi apa adanya. Ikhlas heals everything. Aku belajar banyak hal yang mungkin gak semua orang bisa dapet hal yang sama.

Sejauh ini, ada sih yang bikin aku masih kesel pengen marah-marah. Iya, ini buat mereka yang punya privilese tapi gak dipake! Sekecil waktu luang aja, aku masih suka gendek sendiri sama mereka yang masih bisa maraton series atau drakor haha. We can't recycle the wasted time, dude. Kadang heran deh, segitu udah terfasilitasi masih aja mangkir. Kalau aku jadi mereka rasanya aku bakal ini bakal itu bakal gini bakal gitu. eh em okay sebaiknya aku gak judging dulu, mungkin ada hal lain yang belum selesai ya kan? Atau mungkin itu memang pilihan beberapa orang untuk menjadi santai dan tetap waras. Ingat lagi indikator bahagia itu abstrak sekali. Kenapa sih kita harus membandingkan kadar bahagia orang lain kalau kita bisa bahagia sama-sama?

Sama dengan, kenapa sih kita harus membandingkan kadar kemampuan orang lain, terlambat itu standarnya siapa?


___________________

Disclaimer, privilese disini aku artikan secara sempit. bisa jadi hanya sebuah kondisi lebih baik dari orang lain. Padahal itu kan... pilihan. Letak dimana kita bisa mensyukuri apa yang kita punya, atau berusaha lebih keras untuk hasil yang lebih baik. Soal kalah menang dari mereka yang punya privilese ya nomor sekian deh.

Komentar

Postingan Populer