Afeksi, Atensi dan Eksistensi

Aku belajar satu hal lagi dari seorang adik perempuan manis. Entah kenapa manusia itu selalu bisa memenangkan isi kepalanya dan menenangkan isi hatinya. Entitas paling damai dengan sejuta keributan sepanjang garis waktunya. 

Kali ini pelajaranku tentang 'berjuang untuk orang lain'. Percayalah, aku, dan hanya aku akan menghitung seberapa kebahagiaan yang kelak aku tuai nanti sebelum investasi perjuangan. Bukan saja sesama manusia, benda mati pun tetap kuhitung sama. Selalu ada perasaan tidak ingin rugi dan kecewa, sehingga aku terus berhati-hati.

Di tengah jalan kutemukan pertanyaan, 
"Apakah yang kulakukan sudah benar?"
"Bagaimana kalau seharusnya aku memilih untuk berjuang?"
"Apa nanti jadinya akan sama dengan sekian waktu yang kutinggalkan?"

Kemudian ia datang dengan dua percakapan, yang berhasil kugaris bawahi,
"Semua manusia punya ego, ketidak selarasan lahir dari sana. Akan ada waktunya sebuah alasan ditemukan dari wujud lain, bukan diri kita, dan sejak saat itu perjuangan bermula"

Secara praktikal, terhadap manusia, aku menaruhkan beberapa ekspektasi dan menganut nilai-nilai yang kurasa menjadi syarat cukup sebagai titik nol perjuangan. Apabila ekspektasiku tidak terbuktikan dan nilainya terbantahkan, maka program intuisiku akan segera mengatakan 'biarkan'. Secara sederhana, aku akan sesekali menuai jarak, hingga akhirnya kita terpisahkan tanpa kata. Kesimpulan akhir, aku tidak pernah berusaha memperjuangkan lawan mainku.
(sebentar, aku punya alasan logis untuk ini. Kita bisa obrolkan di belakang kalau aku tidak keberatan)

Sampai di satu titik, saat ini, apalagi yang kucari? 

Satu per satu dinding filtrasi mengerucut dan semakin banyak lapisannya. Aku ingin itu ingin ini banyak sekali tanpa peduli berkompromi dan memaklumi segala kehadiran. Hal paling berbahaya adalah aku belum menemukan alasan kenapa harus merekrut orang lain untuk membangun bisnis kebahagiaan bersama. Ada, sih. Satu orang. Dua mungkin. Tapi aku tidak melihat adanya sebuah interaksi bernilai investasi dari keduanya. Jadi kurasa, saat ini, kita masih perlu main-main dengan dunia masing-masing. Aku memang merindukan kebersamaan. Mungkin sesekali kita bisa mampir, duduk dan bertemu di satu dunia. Seluangnya waktumu saja. Yang menjadi penting bukan masa saling mencari, kan? Tapi saling menemukan. 

Oh ya, terima kasih, Adik. Teruslah membanggakan.

Komentar

Postingan Populer