empat tahun ini

 “Bohong dan berpura-pura adalah kesalahan terbesar yang terus kulakukan.
– Aku, abis nonton nkcthi gatau yang keberapa kali
 

Sejak jauh dengan rumah, aku lupa seperti apa rasanya jujur, aku lupa rasanya sadar kalau aku tidak baik-baik saja, aku lupa menjadi aku. Lama-lama aku pandai menipu diri.

 Aku suka bercerita. Suka sekali. Setiap pulang sekolah, bisa sampai dua jam aku cerita. Apapun. Terus berlanjut, aku mulai punya teman dan lebih dari teman untuk menabung episode selanjutnya. Belum lagi di linimasa berbagai media sosial yang aku punya. Sesuka itu. Tapi, pelan-pelan dunia tumbuh dengan lebih banyak rahasia. Ada banyak lagi hal yang ternyata lebih baik tidak aku ceritakan. Entah karena kecewa atau tidak lagi merasa percaya. Aku berhenti bercerita. Pada siapapun.

 Sejak itu aku menghilangkan ruang bicara.

 Aku lebih sering membuat segmentasi dari pendengarku. Misal, aku akan cerita kepada fia-krisna tentang A, siwi-halimah tentang B, nissa-vk-dea tentang C, almas tentang D, fachri-ilham tentang E, amron tentang F, krisna tentang G, widi-audric tentang H, yasmin-yumna tentang I, dan siapa lagi? Itupun diantara mereka jarang sekali mendapatkan cerita versi penuh. Kalau ada satu orang yang ingin tahu aku sepenuhnya, sepertinya harus mengumpulkan remah-remah roti dari masing-masing mereka. Kalau ada.

Apakah aku merasa penuh? Pura-puranya sudah. Sejujurnya aku masih mencari satu orang, iya cukup satu orang untuk merasa penuh, untuk menampung semua ceritaku, untuk ada hanya buatku. Bercerita memang membuatku merasa utuh. Tapi sampai saat ini, belum ada seorang yang bisa aku percaya untuk menjadi ahlinya aku. Keluarga? Entahlah. Titik nyamanku bukan disana. Kurasa mereka cukup dengan menerima kabar baik dan angin sejuk dariku. Selain itu aku terlalu merepotkan dan membuat panik nanti. Lagipula aku selalu tidak siap dengan respon apapun yang diberikan.

Diluar dari cerita yang banyak aku tebar dimana-mana, masih ada beberapa hal yang belum bisa kulepas pergi, itu mengarah seputar ‘gimana perasaan aku’. Dari hal kecil bahkan yang membuatku merasa besar, tidak pernah sekalipun bisa aku ungkapkan. Gimana rasanya masuk IPB yang mana pernah aku impikan. Gimana rasanya tinggal di asrama yang sangat bukan aku. Gimana rasanya ditolak banyak UKM. Gimana rasanya menemukan teman untuk pertama kali. Gimana rasanya gagal di akademik. Gimana rasanya sakit satu setengah semester. Gimana rasanya kabur buat mencari kebebasan. Gimana rasanya menang di suatu kompetisi. Gimana rasanya kalah. Gimana rasanya dihargai. Gimana rasanya jadi mapres. Gimana rasanya dikenal orang. Gimana rasanya bisa ketemu seseorang yang ternyata mengubah cara pandang aku terhadap dunia. Gimana rasanya jadi aku.

Kira-kira pertanyaan itu yang tidak pernah aku jawab, bahkan kepada diri sendiri. Untuk menjadi kuat, aku menepikan semua perasaan. Segala sesuatunya harus bersumber atas pemikiran dengan alasan yang bisa diterima dengan logika. Tapi karena itu, aku malah jadi mati rasa – atau mungkin hanya pingsan. Entah karena aku yang enggan membagi perasaan itu, atau karena aku merasa tak menemukan orang yang tepat untuk berbagi. Lebih tepatnya, memangnya ada orang yang mau kuhujani cerita setiap malam? Aku takut kalau itu hanya akan menambah beban untuknya. Padahal harusnya cerita ini kan tanggung jawabku.

Ini seperti memendam bom waktu, jelas aku hanya tinggal menunggunya meledak, menunggunya menjadi serpihan yang lebih kecil lagi. Padahal momen yang kutunggu selama ini adalah saat dimana aku bisa bercerita dengan merdeka, seluas-luasnya isi kepala, seutuh-utuhnya isi hati, selebar-lebarnya senyum, sekencang-kencangnya tangis tanpa perlu terbebani apapun. Apapun. Tanpa perlu berbohong dan berpura-pura lagi. Aku ingin diterima lengkap dengan setiap kepingan ceritaku.

 

 

 

 


Komentar

Postingan Populer