Sebuah Pengingat
Kamu tak akan tahu seberapa kuat dirimu sampai
kamu terjatuh. Saat ragamu merapuh, namun jiwamu menuntut untuk tetap utuh. Setiap
harinya kepalamu akan ditumbuhi akar-akar yang perlahan menudunginya dengan
harapan, juga semangat yang bergemuruh.
21:27 (13 September 2018)
Terhitung hampir lima bulan dari detik pagi
buta kemarin. Kamu yang pulang berhujanan, bergegas untuk tidur lebih cepat.
Katamu, “biarlah barang beberapa jenak aku melepas segala rindu dan memejamkan
mata.” Kamu baik-baik saja. Nafasmu masih berirama. Kamu tidur beselimut. Damai.
03:48 (13 April 2018)
Dua detik cukup untuk membuatmu terbangun dan
tersentak. Kelilingmu bukan gelap, hanya merah. Sejak pagi itu matahari malu-malu
menemuimu. Bahkan kamu sempat berpikir untuk mengakhiri hubunganmu dengannya.
Kamu merapuh.
14:36 (13 April 2018)
Kamu berlari – bukan dilarikan, menuju ruang
tak terkatakan. Pertama kalinya kamu merujuk diri menghadap titik kritismu.
Namun kamu pulang dengan perasaan tertolak
oleh bumi, itu menyebalkan.
17:51 (14 April 2018)
Perjalanan dimulai. Tanpa ada yang tau
seberapa lama kamu bertahan. Kamu terus senyum-senyum. Katanya pulang membawamu
dekat, dekat membawamu aman, aman membawamu menuju nafas yang baru.
00:13 (15 April 2018)
Ternyata bukan rumah yang dituju. Pulang
untuk dilarikan pada ia yang lebih berwenang. Dipaksanya kamu untuk berbaring,
kamu hidup. Setidaknya hanya rasa takut yang membunuhmu.
01:47 (15 April 2018)
Lagi-lagi kamu memerah. Tubuhmu, ia entitas paling
jujur atas kekuatanmu.
07:06 (16 April 2018)
Cukup dengan piyama kamu pergi. Kembali takut
seperti semalam, sampai kamu bosan menangis.
10:10 (16 April 2018)
Kamu dinyatakan tak bersalah. Hanya butuh
istirahat.
17 april – 22 april 2018
Pasrah dan menghilang.
15:08 (23 April 2018)
Bogor. Matamu nanar menatap apa yang akan
terjadi esok hari. Kamu marah pada bogor, padahal kamu sudah membencinya sejak
pertama bertemu. Kamu hilang arah. Segalanya diasaskan dengan asal-asalan. Kamu
tidak berbicara, tidak mau atau mungkin menjadi tidak suka. Rasamu mati.
April – Mei – Juni – Juli – Agustus
Perubahan. Kamu kembali kuat, padahal melemah
secara harfiah. Kepalamu mulai ringan, jantungmu perlahan berdetak berirama. Menerima
memang sesulit itu, kamu perlu berdamai dengan waktu. Mengajaknya makan siang
atau barang mentraktir satu cup susu.
23:48 (25 Agustus 2018)
Obrolan tadi menyisakan beberapa potong
kentang goreng. Kamu yang sudah kenyang bercerita memilih untuk menyimpan
potongan itu. Setiba di rumah, kamu menyadari bahwa yang tersisa bukan hanya
kentang tapi juga luka.
September 2018
Ada yang aneh, kamu menjadi semakin pemilih
dan rentan. Tak diizinkannya kesalahan satu senti pun dari tiap makananmu. Harimu
mulai menguning. Tapi sayang, tubuhmu belum juga siap panen. Perayaan hari
baikmu terlalu cepat. Prematur.
05:28 (15 September 2018)
Tiga hari tersisa, tapi.. ah sudahlah kamu
malah sedang lucu-lucunya. Seminggu terakhir ini rundownmu memang tertata
kepalang rapi, menakjubkan. Tapi mana standar manusianya? Kamu cemas tapi tak
mau peduli. Coba tolong berhenti, beranilah jujur kalau kamu lemah.
02:14 (16 September 2018)
Kamu bertaruh apa sih? Kesehatanmu itu loh. Kalimat
terakhir itu yang kamu benci darinya. Seolah dirinya berpikir kamu tidak
peduli. Padanya. Dan tentu saja dirimu.
22:25 (16 September 2018)
Kamu mungkin bernafas lega, tersenyum lebar. Teduh.
Semangatmu penuh karena senyumnya menemanimu seharian. Itu yang kamu inginkan,
bukan? Nikmatilah. Perasaanmu berhak atas itu. Membuatmu merasa lebih baik,
sebentar melupakan dua hari yang tersisa.
02:01 (17 September2018)
Kamu berpisah sejenak dengan senyumnya. Kembali
cemas. Kamu tak lagi menemukan semangatmu. Hanya tinggal besok dan kamu akan
menjemput takdirmu. Rasanya.. kamu sudah tahu jika kemungkinan pasti yang terjadi
adalah hal terburuk.
22:44 (17 September 2018)
Perjalananmu hambar. Seperti percuma
menenangkan diri sekarang karena kamu tahu besok tak ada jawaban cantik
menyapamu.
07:31 (18 September 2018)
Kamu menyapukan pandangan mengitari ruangan. Batinmu
berkata jika kamu tidak semengenaskan itu. Kamu masih jauh lebih beruntung. Namun
sekarang, kembali padamu. Kamu ambil keberuntunganmu atau lagi-lagi
merelakannya ditikam ambisi.
10:42 (18 September 2018)
Selamat. Kamu hancur dua kali.
15:49 (18 September 2018)
Kamu hanya ingin pergi kemudian menemukan
alasan lain untuk kembali.
Akhir 18 September 2018
Perjalananmu terasa lebih panjang. Banyak detik
yang meracau, mencaci menuntut hari bahagiamu. Kamu merapuh. Pasrah. Hanyut dalam
ke-tak-berdayaan. Kamu menyambutnya kembali.
-----
Sampai hari ini, sampai kamu tidak bisa
membedakan, “kamu akan sembuh nanti”, “kamu membaik”, atau “kamu memang tak
akan pernah kembali seperti sedia kala”. Abu-abu buatmu, dimana titik
bahagianya? Amarahmu memuncak tak terkatakan. Lagi-lagi ia merengut harimu,
senyummu, dirimu.
Kita lupa bahwa Tuhan kadang mencintai manusia
dengan cara yang berbeda-beda. Sungguh aku sangat marah, ingin kuteriak
bertanya kenapa harus aku yang jadi pilihanNya. Tapi nyatanya aku lebih ingin
berdoa agar tak perlu ada yang lain sepertiku.
Komentar
Posting Komentar