Kali Pertama
“Memperhatikan matahari
menyepuh rerumputan menjadi kuning. Orang-orang tampak melangkah berseliweran.”
Bunga mawar yang terindah tidak selalu
lebih indah daripada bunga rumput berembun yang cemerlang dalam denyar matahari
pagi. Sayup-sayup dalam hati sebuah lagu lama, dari sebuah film lama: Be the good girl you always have to be.
Namun itu perlu kupahami (baca: kualami)
hari ini. Sudah lama aku tidak bertemu siapapun. Tidak berpisah dengan siapapun
juga. Ini seperti pingsut. Jempol lebih unggul dari telunjuk, telunjuk lebih
unggul dari kelingking, dan kelingking lebih unggul dari jempol. Sama sekali
tidak bisa bercengkrama lebih lama dari dua kejap.
Namun mula-mula ada kabut yang
menudungi, lantas perahu. Baru kemudian aku dirasuki bayang-bayang hitam dari
kejauhan yang datang sembrono. Membawa pekat dan segala peralatannya. Aku
berkata-kata, mendorong perahunya dan segera kuharapkan menjadi noktah yang
lenyap ditelan pandangan itu.
Namun ada yang harus ditentukan,
seperti pilihan, seperti sodorkan jempol, telunjuk atau kelingking. Tentu saja
bukan untuk kalah mengalahkan karena manusia yang akan memahami segala
sesuatunya tanpa memerlukan kartu as dalam dunia yang telah
sangat dikenalnya.
Namun pada pantai yang
kelabu, buih ombak memang selalu putih, tetapi hari itu laut adalah kelabu,
seperti juga langit dan cakrawala itu. Pasir yang basah bahkan menghitam karena
tidak membiaskan apapun dari langit yang muram. Aku duduk di
pasirnya.
Namun setiap kali ada yang ingin aku
tunjukan selalu terselip beberapa yang lain. Semula tanganku mengepal, maka akan
lebih mudah keluarkan telunjuk lalu tunjukan jempol. Kelingking ya hanya
terdiam muram. Berjanji dengan lembut.
Namun aku kembali meradang pada
pasirku yang menggelap juga perahu seadanya. Ingin kusembunyikan saja. Beberapa
jenak seseorang bercerita, aku tidak menolak mendengarkan asal pantai
itu berangin dan berpasir asal pasirnya basah dan berkilau asal kilaunya
mengertap dan berkeredap ketika senja.
Namun berada bersebelahan sepejam
yang lalu belum habis lagi setiap ulah. Tentu saja aturannya seperti pingsut
biasa, hanya jemari yang berbeda. Jemari yang menari pada tuts juga jemari yang
beradu senar. Keduanya malu-malu lalu dekat-dekat.
Namun banyak sekali yang membuatku
tersipu, terkagum. Ombak yang dengan halusnya mendesir membisikkan
segala kisah meskipun sempat hilang tetap lagi menjelma dalam hampa
udara ketika senja dan hanya senja membuat langit dan bumi di pantai seluruhnya
menjadi jingga.
Apakah tidak terlalu pagi untuk melankoli? Kuhabiskan
eskrimku, kutinggalkan pagi, dan jalanan menelanku menjadi seseorang yang kembali
dipertemukan satu manusia hebat lainnya, salam kenal :)
Komentar
Posting Komentar