Reportase Tapal Kuda
Jika Jalanan
Menunjukkan Bangsa, Apa Yang Mau Dikatakan Tentang Kuningan?
Segenap frasa kali ini secara khusus dipersembahkan
kepada burung-burung, kuda, batuan dan rerumputan, air mancur, bangku kosong
dan sosok yang selalu memenuhi taman kota.
Bagi seorang yang tinggal jauh dari keramaian kota dan
kebetulan tidak lahir di kota yang sama – seperti Saya ini, tentu tidak bisa
disebut secara harfiah sebagai ‘orang kota’. Kebenarannya Saya hanya kebetulan
memiliki eyang dan beberapa famili asli asal kawasan kaki Gunung Ciremai. Akan
tetapi itulah yang membuatnya istimewa, mengurai jarak dari tepi ke kota, dari
jauh menjadi dekat, dari asing menjadi cinta. Kalau boleh jujur, pesona di
timur Jawa Barat ini berhasil membuat Saya jatuh hati terutama pada someah-nya dan lainnya yang makin
mendalam setiap harinya sejak kurang lebih tujuh belas tahun ini.
Bicara soal jarak antara Saya dengan taman kota yang
melibatkan waktu tempuh lumayan lama hanya masalah klise yang sudah termakan
zaman digital kini. Karena selama itu Saya dengan senang hati ditemani
bercerita oleh jalanan. Jalanan yang tanpa tahu malu bercerita ini-itu, itu-ieu, ieu-eta,
mengajari Saya untuk mengobrak-abrik lebih cantik lagi tentang Kuningan.
Sekali waktu, untuk pertama kalinya Saya membawa serta
sepupu yang ingin mampir bercerita dengan jalanan kuningan juga, katanya.
Namanya juga datang ke Kuningan untuk pertama kalinya, banyak hal yang selalu
ingin dicocokkannya dengan imaji Kuningan yang selama ini mengitari pikirannya.
Jadi sebelum tiba di Kuningan, sudah ada Kuningan terlebih dahulu dalam
kepalanya, dan Saya bisa menebak dalam kepala siapapun ekspektasinya berada
sedikit dibawah garis kenyataan. Selalu begitu. Wajar saja karena jalanan belum
memulai ceritanya.
Ketika melewati jalanan terusan Mandirancan – Desa
Randobawa sampai Desa Pakembangan, dimana hampir kemana mata memandang hanya
disajikan sawah-sawah yang mungkin tidak pernah dilihatnya di kawasan padat. Ia
bertanya : “Jadi ini Kuningan yang sebenarnya?” dan jawaban saya pun cukup
klise : “Bukan, ini Kuningan yang semu, karena deretan padi menguning itu hanya
tampak luar ibaratnya riasan”.
Karena belum juga Ia sampai pada pengharapannya menemukan
Kuningan, ketika melewati jalanan kompleks Linggarjati yang rindang dan
memanjakan itu, Ia bertanya lagi : “Inikah Kuningan yang sebenarnya?” lagi-lagi
Saya hanya membuatnya lelah menunggu dengan jawaban : “Bukan, ini masih menjadi
saksi sejarah, belum memangku tradisi yang menciptakan sejarah” Ia hanya
terdiam dan kembali menanti untuk segera bertemu Kuningan-nya.
Cukup lama kami menyusuri jalan protokol Kuningan, namun
Ia masih saja berlalu-lalang menyamakan bayang-bayang Kuningan di bawah lampu
kota. Saya berharap jalanan bisa menceritakan dengan lebih kepadanya, kasihan,
batin Saya. Kesalahan paralaks adalah kesalahan mendasar dan memang dasar
manusia yang mudah jatuh akibat pandangan. Saya ingin ada yang menyimak jalanan
lekat-lekat agar dengan leluasa jalanan bisa bercerita apa yang terjadi. Merasakan
tidak sama dengan melihat saja.
Sejak pertanyaan terakhirnya tadi, Ia hanya diam dan
lebih memilih memenjarakan dirinya pada bayangan sosok Kuningan yang Ia kemas
lagi perlahan. Sesuai rencana kami – sebenarnya Saya yang menentukan, kami
menikmati malam di taman kota. Berbekal kacang rebus yang kami beli di seberang
parkiran tadi. Wajahnya basah namun bukan oleh peluh, hanya saja air wajah
kelelahan menyelimuti parasnya. “Kamu masih menantikan Kuningan yang
sebenarnya?” pertanyaan yang membawa beberapa pejam di matanya. “Jadi ini
Kuningan yang sebenarnya?” seadanya saja Ia bertanya tanpa mengharapkan jawaban
yang lebih. “Belum”. Brukk! Saya mendorongnya hingga menabrak seseorang yang
berdiri di depannya, kacangnya tumpah, lalu mereka jatuh bersamaan. Dari arah
jam sepuluh, agak jauh, ada beberapa pedagang yang kebetulan melihat
menghampiri. “Teh teu nanaon?” Ia
meringis sambil dibantu berdiri oleh Bapak pedagang jagung rebus. “Upami teu damang mah istirahat weh di rompok
neng, wengi kieu mah awon kana awak teh” ditambahkan lagi oleh Ibu
penjual minuman. “cing atuh tong
gura-giru pami leumpang teh, kahade” seolah tak mau kalah, seorang yang tadi
jatuh bersamanya juga ikut sumbang suara. Dengan tutur khas pedagang dan pemuda
malam, rasanya itu sudah cukup membuatnya mengerti. Beberapa menit kemudian
suasana kembali tenang, semua orang telah kembali pada kesibukannya
masing-masing. “Yah, inilah Kuningan” Saya sangat berharap Ia dapat mengerti
bahwa suatu karakter adalah sesuatu yang kasat mata, yang terjadi secara
spontan, yang membudaya, mendarah daging dan menciptakan sekaligus menyaksikan
sejarah.
Shakespeare pernah mengatakan, “What is the city, but its people”. Kota adalah cerminan dari para
penghuninya. Dan mungkin juga para penghuni ini mencerminkan kotanya.
Perbendaharaan budaya seseorang bisa berkembang, tetapi seseorang tidak mungkin
keluar dari wacananya – tradisi sendiri. Seperti manusia tidak mungkin meloncat
ke balik cakrawala, karena setiap kali akan terdapat suatu cakrawala di
hadapannya.
Itulah kenapa Saya jatuh hati dengan Kuningan ini.
Faktanya, mata Saya disuguhkan dengan berbagai panganan pemandangan bintang
lima, hati Saya dimanjakan oleh ke-someah-an
yang sulit didapatkan di kota sibuk sana, dan satu lagi, diri Saya boleh
berbangga menjadi salah satu bagian Cingcowong,
Sintren, Seren Taun, Kawin Cai, Jeniper, Peuyeum Ketan, Leupeut, Hucap, ah banyak
sekali dan nikmat-nikmat tentunya.
Tunggu dulu, Saya juga pernah dibuat patah hati oleh
Kuningan. Mungkin itu konsekuensinya, berani menjatuhkan berani juga tertusuk
pecahan yang berserak. Saya pernah memindahkan pandangan dari pusat-pusat
kesenian dan blusukan ke pojok jalan
di malam yang kelam. Kali ini Saya menemukan kesenian dalam pengertian yang
bukan mencerminkan harta, apalagi kekayaan seniman. Saya hanya bisa menyaksikan
kesenian sebagai perjuangan hidup, kesenian sebagai bentuk perlawanan, kesenian
sebagai yang dilahirkan dari pergulatan konkret kehidupan.
Barangkali menarik untuk membandingkan kreativitas orang
mengamen di jalanan Kuningan : antara seruling bambu, topeng monyet, tepuk
tangan anak jalanan, atau gonjreng
gitar pemuda pemalas yang dengan mantap bertebar di berbagai perempatan. Namun
Saya akan merasa berdosa jika harus
menggambarkannya sebagai kejadian yang ‘lucu’. Suatu perbincangan yang melihat
hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan degradasi kemanusiaan mungkin saja
perlu – tetapi, sungguh, saya belum dapat berbicara apa-apa tentang fakta itu
sekarang. Dengan segala hormat, bagi saya sekian pemandangan itu menyakitkan.
“Kota bukanlah
hutan beton, kota adalah kebun binatang manusia” itulah perkataan Desmond
Morris dalam bukunya The Human Zoo tahun 1969. Sangat erat hubungannya dengan
Kuningan – kali ini bukan soal kudanya. Hutan beton tentu bisa dimaknai dengan
berbagai macam, bisa dimulai dari banyaknya gedung pencakar langit, karakteristik
manusia yang kaku dan tertutup, atau bahkan hutan
beton makna asli denotasinya. Bagaimana dengan Kuningan? Kota berisikan
manusia dan kuda ini tentu adalah kebun binatang yang menarik dan penuh dengan
keanekaragaman budaya. Berjalanlah – teruntuk pemuda dan Saya, jangan pernah
bosan mendengar jalanan bersenandung dalam cerita.
Keren kereenn 👍
BalasHapusKeren kereenn 👍
BalasHapus